Surabaya (ANTARA) - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022 bukan merupakan benda yang tiba-tiba turun dari langit, melainkan penyusunannya telah melalui proses yang panjang.
"Mengenai pembuatan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang disahkan dan diundangkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2023, itu bukan suatu benda yang tiba-tiba turun dari langit dan kami (tim penyusun KUHP) tidak bekerja dalam ruang gelap," ujar Prof Eddy, sapaan akrab Edward Omar Sharif Hiariej saat menyampaikan pidato kunci dalam kegiatan Kumham Goes to Campus 2023 di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, Jumat.
Menurut dia, pembentukan atau penyusunan KUHP tersebut memerlukan waktu kurang lebih 64 tahun, yaitu sejak tahun 1958 sampai dengan tahun 2022.
"Jadi, sangat lama dan saya kira undang-undang (UU) terlama dalam penyusunan adalah KUHP," ujar dia.
Meskipun begitu, Prof Eddy mengatakan, tidak ada satu pun negara di dunia yang cepat dalam menyusun KUHP nasional setelah mereka lepas dari jajahan negara lain.
Ia mencontohkan Belanda membutuhkan waktu selama 70 tahun untuk menyusun KUHP nasional, usai lepas dari jajahan Prancis. Padahal, lanjut dia, Belanda merupakan negara dengan penduduk yang homogen.
"Jadi, kalau kita (bangsa Indonesia) yang heterogen, multietnis, multireligi, dan multikultural, membutuhkan waktu lebih dari 60 tahun itu masih wajar. Kira-kira begitu," kata dia.
Ia menjelaskan negara dengan penduduk yang heterogen cenderung mengalami kesulitan dalam membuat KUHP nasional karena terdapat beragam isu di tengah masyarakat dengan beragam etnis, agama, dan budaya itu yang sulit untuk diatur secara sempurna dalam KUHP.
"Membentuk KUHP nasional di dalam negara yang multietnis, multireligi, dan multikultural itu tidaklah muda. Setiap isu selalu menjadi kontroversi dan tidak akan mungkin sempurna," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Prof Eddy juga memaparkan lima misi penting yang diusung dalam KUHP. Pertama, dekolonialisasi yakni KUHP baru sebagai upaya untuk menghilangkan nuansa-nuansa kolonial yang ada dalam KUHP lama.
Kedua, demokratisasi. Melalui misi tersebut, Prof. Eddy mengatakan KUHP baru sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi dan tidak pula mengekang kebebasan berekspresi serta berpendapat masyarakat.
Misi KUHP selanjutnya adalah konsolidasi, yaitu penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian undang-undang pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan rekodifikasi.
Berikutnya, misi keempat KUHP adalah harmonisasi. Banyak undang-undang sektoral yang diharmonisasikan dengan KUHP baru.
"Yang kelima misi KUHP itu adalah modernisasi," ujar Prof. Eddy.
Melalui modernisasi dalam artian paradigma hukum pidana modern yang tidak lagi berorientasi hukum sebagai pembalasan itu, kata dia, KUHP yang baru mengedepankan keadilan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Wamenkumham: KUHP bukan benda yang tiba-tiba turun dari langit