"Kita berharap bahwa pendekatan hukum pidana kita lebih manusiawi sehingga hukum pidana tidak lagi berorientasi pada hukum balas dendam tetapi bagaimana memanusiakan manusia," jelasnya pada kegiatan Sosialisasi KUHP di Universitas Victory, Kota Sorong, Papua Barat Daya, Kamis.
Misi dari KUHP Nasional, sebut dia, lebih mengedepankan demokratisasi, dekolonisasi, harmonisasi, konsolidasi, dan modernisasi.
"Jadi keunggulan di dalam KUHP Nasional itu tidak lagi berorientasi pada kepastian hukum semata, tetapi lebih kepada kemanfaatan dan keadilan. Bahkan, jika dalam menghadiri perkara ada pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hakim wajib mengutamakan keadilan," kata dia.
Dalam konteks keadilan inilah, katanya, diperkenalkan atau diakui keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghidupkan pranata hukum adat yang sudah mati, tetapi mengakomodasi pranata hukum adat yang masih berlangsung sampai saat ini.
"Jika semua menjadi korban dari suatu kejahatan, maka yang ada di dalam benak, yaitu agar pelakunya itu sesegera mungkin ditangkap, ditahan, dan dihukum seberat-beratnya. Artinya kita semua masih mengedepankan hukum pidana sebagai sarana balas dendam," ungkapnya.
KUHP nasional ini, kata dia, tidak lagi mengedepankan hukum pidana sebagai sarana balas dendam dan tidak lagi mengedepankan hukum pidana pada keadilan pembalasan. Tetapi telah mengubah paradigma hukum pidana menjadi keadilan korektif, keadilan restorasi, dan keadilan rehabilitatif.
"Janganlah berharap dengan KUHP baru ini lalu sedikit-sedikit orang di penjara, sudah tidak lagi,” tegas dia.
KUHP nasional yang baru disahkan menghindari pengenaan penjara dalam waktu singkat karena di dalam KUHP nasional itu ada modifikasi alternatif pidana, katanya.
"Kalau ancaman pidana itu tidak lebih dari 5 tahun, maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara, melainkan pidana pengawasan. Kemudian jika ancaman pidana tidak lebih dari 3 tahun, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara melainkan pidana kerja sosial," bebernya.
Jadi, kata dia, ketika ancaman tidak lebih dari lima tahun bisa dikenakan pidana pengawasan, kemudian ancaman tiga tahun bisa dikenakan pidana kerja sosial. Itu diatur secara ketat dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
"Artinya meskipun pidana penjara masih merupakan pidana pokok, tapi sedapat mungkin tidak dijatuhkan. Jadi ada pidana yang lebih ringan, yaitu pidana pengawasan, pidana kerja sosial maupun pidana denda. Ini sekaligus menjawab tantangan bagi Kementerian Hukum dan HAM untuk mengatasi 'over' kapasitas di lembaga pemasyarakatan,” tegasnya.
Melalui Program Humkam Goes To Campus, ia melakukan sosialisasi KUHP Nasional yang disahkan pada tanggal 6 Desember 2022 dan telah diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023 kepada mahasiswa Universitas Victory Sorong, Kamis (10/8).
"Mengapa kita membutuhkan waktu tiga tahun untuk masa peralihan dan sosialisasi terkait KUHP nasional ini agar seluruh aparat penegak hukum memiliki frekuensi, ukuran, dan standar yang sama dalam menerapkan KUHP Nasional," kata dia.
Proses pembentukan KUHP Nasional, katanya, selalu mendengar berbagai aspirasi masyarakat dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Pulau Rote.
“Inilah yang bisa kita hadirkan kepada masyarakat Indonesia. KUHP Nasional mengubah pola pikir , mengubah pola pikir aparat penegak hukum, pola pikir saya, pola pikir bapak ibu, bahkan pola pikir seluruh masyarakat Indonesia,” tandas dia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Wamenkumkam: KUHP baru lebih mengedepankan sisi manusiawi