Oleh sebabnya, kewenangan promosi dan demosi ASN perlu direvisi agar tidak menimbulkan dilematis bagi ASN terutama menjelang pemilu.
"Ada problem regulasi yang memberi ruang, sehingga kewenangan demosi dan promosi perlu direvisi," kata Elias Idie.
Menurut dia hasil riset yang dilakukan beberapa waktu lalu ada dua faktor yang melatarbelakangi ASN kerap terlibat politik praktis.
Faktor pertama kepentingan karir ASN dalam sistem pemerintahan, dan faktor kedua berkaitan dengan ikatan emosional atas kesamaan suku dan lainnya.
"Tapi yang paling dominan itu soal kepentingan karir, jadi mereka ikut melibatkan diri dalam aktivitas politik," tegas Elias.
Selain itu, kata dia, revisi UU 5 Tahun 2014 bermaksud memperkuat posisi Komisi ASN dalam menindaklanjuti rekomendasi pelanggaran netralitas ASN saat pemilu.
Sebab, rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu terhadap oknum ASN selama ini kurang mendapatkan respon positif berupa pelaksanaan sanksi.
"Pejabat yang tidak laksanakan punishment atau hukuman itu juga tidak sanksi," jelas dia.
Kendati demikian, Elias menegaskan bahwa azas netralitas ASN yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 wajib diimplementasikan oleh ASN.
Artinya, seluruh ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh dan kepentingan siapapun.
Bawaslu tidak hanya berfungsi sebagai pengawas pemilu melainkan penegak hukum terhadap netralitas ASN, TNI, dan Polri.
"Netralitas yang dimaksud dalam konteks politik misalnya ASN tidak boleh ikut posting caleg di sosial," terang dia.
Elias mendorong Bawaslu kabupaten/kota di Papua Barat dan Papua Barat Daya segera melakukan penandatanganan komitmen netralitas ASN dengan masing-masing pemerintah daerah.
Ia berharap konsep itu dapat terlaksana sebelum akhir tahun 2023, sehingga sosialisasi dan edukasi bagi ASN lebih dimaksimalkan.
"Kita sudah instruksikan kabupaten/kota segera koordinasi dengan bupati/wali kota," pungkas Elias Idie.
Faktor pertama kepentingan karir ASN dalam sistem pemerintahan, dan faktor kedua berkaitan dengan ikatan emosional atas kesamaan suku dan lainnya.
"Tapi yang paling dominan itu soal kepentingan karir, jadi mereka ikut melibatkan diri dalam aktivitas politik," tegas Elias.
Selain itu, kata dia, revisi UU 5 Tahun 2014 bermaksud memperkuat posisi Komisi ASN dalam menindaklanjuti rekomendasi pelanggaran netralitas ASN saat pemilu.
Sebab, rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu terhadap oknum ASN selama ini kurang mendapatkan respon positif berupa pelaksanaan sanksi.
"Pejabat yang tidak laksanakan punishment atau hukuman itu juga tidak sanksi," jelas dia.
Kendati demikian, Elias menegaskan bahwa azas netralitas ASN yang diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 wajib diimplementasikan oleh ASN.
Artinya, seluruh ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh dan kepentingan siapapun.
Bawaslu tidak hanya berfungsi sebagai pengawas pemilu melainkan penegak hukum terhadap netralitas ASN, TNI, dan Polri.
"Netralitas yang dimaksud dalam konteks politik misalnya ASN tidak boleh ikut posting caleg di sosial," terang dia.
Elias mendorong Bawaslu kabupaten/kota di Papua Barat dan Papua Barat Daya segera melakukan penandatanganan komitmen netralitas ASN dengan masing-masing pemerintah daerah.
Ia berharap konsep itu dapat terlaksana sebelum akhir tahun 2023, sehingga sosialisasi dan edukasi bagi ASN lebih dimaksimalkan.
"Kita sudah instruksikan kabupaten/kota segera koordinasi dengan bupati/wali kota," pungkas Elias Idie.