Sorong (ANTARA) - Sebanyak 57 penambang pasir ilegal di kawasan hutan lindung Kota Sorong, Provinsi Papua Barat, ditangkap petugas Balai Gakkum KLHK Wilayah Maluku-Papua bersama Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan, Korwas PPNS Ditreskrimsus Polda Papua Barat, Denpom XVII/1 Sorong, Satuan Batalion B Pelopor Sat Brimob Polda Papua Barat, dan KPHL Unit II Sorong dalam operasi gabungan 24-25 September 2020 di kawasan hutan lindung Kota Sorong.
"Penambang pasir ilegal tersebut sedang diminati keterangan dan mereka terancam pidana berlapis jika barang bukti dan unsur pidana terpenuhi sesuai ketentuan Pasal 17 Ayat (1) Jo Pasal 89 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dengan ancaman penjara pidana paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp50 miliar," kata Kepala Balai Gakkum KLHK Wilayah Maluku-Papua Leonardo Gultom dalam rilis yang disampaikan di Sorong, Sabtu.
Dia mengatakan bahwa penyidik juga akan menggunakan Pasal 98 dan Pasal 109 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp15 miliar.
Ia mengungkapkan mengatakan bahwa Operasi gabungan itu merespon pengaduan masyarakat atas masifnya penambangan ilegal galian C di kawasan Hutan Lindung Kota Sorong yang mengakibatkan hilangnya wilayah serapan air dan meningkatkan risiko bencana.
"Dampak dari penambangan ilegal di kawasan hutan lindung Kota Sorong tersebut mengakibatkan banjir dan tanah longsor," ujarnya.
Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Runaweri F yang memberikan keterangan secara terpisah, menyatakan mendukung kegiatan operasi di kawasan hutan lindung kota sorong karena kegiatan penambangan ilegal tersebut sudah terjadi bertahun-tahun sehingga merusak tutupan hutan dan merugikan kelestarian alam.Menurut dia, lokasi penambangan illegal tersebut berada dalam kawasan hutan lindung berdasarkan pada surat keputusan No. 783/Menhut-II/2004 tanggal 22 September 2014 sehingga berdasarkan pada SK tersebut kegiatan penambangan jelas-jelas melanggar ketentuan undang-undang.
Hal senada juga disampaikan oleh Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Abdul Latief Suaeri yang menyatakan mendukung penegakan hukum bagi penambang pasir ilegal di kawasan hutan lindung Kota Sorong.
Dikatakan bahwa jika dampak dari penambangan ilegal tersebut telah merusak kondisi lingkungan di Kota Sorong dan mengakibatkan banjir dan tanah longsor maka penegakan hukum lingkungan mutlak dilakukan untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat dan sekaligus menjadi alat pemerintah untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Sementara itu, Dirjen Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan bahwa kejahatan penambangan ilegal dan perusakan kawasan hutan harus ditindak tegas dan pelakunya dihukum seberat-beratnya. Dampak dari kejahatan ini jelas sekali merusak lingkungan dan membahayakan masyarakat serta sangat merugikan negara.
Ia menjelaskan, aktivitas sekelompok orang yang melakukan kejahatan untuk memperkaya diri mereka dengan mengorbankan lingkungan dan masyarakat serta merugikan negara harus dihentikan.
"Saya ingatkan bahwa kami tidak akan berhenti menindak tegas pelaku kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan, termasuk kejahatan penambangan ilegal di kawasan hutan. Kami akan terus memburu pelaku yang menjadi otak penambangan ilegal galian C di kawasan hutan ini. Para pelaku akan ditindak dengan pidana berlapis baik menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) maupun UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)," katanya.
Menurutnya, operasi penegakan hukum ini menjadi peringatan bagi pelaku kejahatan atas sumber daya alam. pihaknya tidak akan membiarkan kejahatan ataupun kegiatan ilegal bentuk apa pun di dalam kawasan hutan karena akan merusak lingkungan, mengancam keselamatan masyarakat dan merugikan negara.