Jakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyebut penanganan kemiskinan di Papua tidak bisa menggunakan kacamata yang bersifat Jawa sentris.
"Jadi salah satu kelemahan yang paling berat negara kita ini adalah banyak sekali pejabat pembuat kebijakan yang dia menggunakan kebijakan helikopter. Jadi lihat dari jauh-jauh dan kemudian melihat membandingkan karena dia sudah biasa di Jakarta ya, sangat Jakarta sentris atau Jawa sentris," ujar Muhadjir di Kemenko PMK, Jakarta, Rabu.
Muhadjir mencontohkan pemberian bantuan sosial bagi masyarakat Papua kerap kali disamaratakan dengan penanganan di Pulau Jawa. Padahal, secara nilai tentu berbeda.
Menurutnya, menangani seribu orang miskin di Papua lebih sulit ketimbang menangani 10 ribu orang miskin di Jakarta. Biaya untuk pengangkutan logistik berkali lipat lebih mahal, karena keterbatasan akses. Dia mengambil contoh harga beras di Papua yang mencapai sekitar Rp 60 ribu per kg.
Maka dari itu, apabila bantuan sosial atau Bansos yang diberikan pemerintah kepada masyarakat Papua nilanya sama dengan Bansos untuk masyarakat Jawa, maka hasilnya tidak akan maksimal.
"Dan itu yang terjadi sekarang ini, salah satunya kenapa di sana (kemiskinan) gak turun-turun itu karena dianggap sama aja menangani orang miskin di sini di sana dengan di sini (Jakarta)," kata dia.
Saat ia meninjau kasus kelaparan di Distrik Agandugume, Papua Tengah, logistik hanya bisa dibawa menggunakan pesawat perintis. Secara muatan, pesawat perintis jenis caravan hanya mampu mengangkut 900 kilogram bantuan.
Tak hanya itu, untuk sekali terbang membutuhkan biaya penyewaan hingga Rp35 juta dengan total penumpang hanya sembilan orang. Demikian pula saat akan membangun sekolah, anggaran Rp10 miliar tidak akan cukup untuk membangun sarana pendidikan di Papua.
"Karena untuk membangun sekolah di Jawa Tengah itu Rp3 miliar sudah jadi sekolah tapi kalau di Papua Rp10 miliar belum tentu jadi sekolah. Kenapa? Karena wilayahnya sangat jauh," katanya.
Maka dari itu, kata dia, tidak bisa membangun wilayah terluar, tertinggal, dan terdepan (3T) lewat pendekatan serupa seperti di Jawa. Ia meyakini memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi salah satu cara untuk mengatasi persoalan pemerataan tersebut.
"Jadi Indonesia ini terlalu luas kalau hanya dilihat dengan menggunakan kacamata Jakarta karena itulah kenapa Pak Presiden terobsesi untuk memindah Jakarta ke tempat lain yang sekarang di IKN itu," katanya.