Sorong (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, memperkuat advokasi kepada masyarakat tentang kebijakan dan pendampingan layanan perlindungan perempuan guna meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di wilayah itu.
Pelaksana Harian Sekda Kabupaten Sorong Kepas Kalasuat yang didampingi Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (P2KBP3A) Kabupaten Sorong Ferry Fatem membuka kegiatan advokasi tersebut di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Kamis, yang diikuti masyarakat di wilayah itu.
Kalasuat menjelaskan kegiatan advokasi ini merupakan salah satu langka strategis dari pemerintah untuk membangun cara pandang masyarakat untuk memahami dan mengerti secara baik tentang dampak KDRT.
Sebab, menurut dia, KDRT merupakan tindakan yang dilakukan di dalam rumah tangga, baik oleh suami, istri dan anak yang berdampak buruk terhadap keutuhan fisik, psikis dan keharmonisan hubungan rumah tangga.
"Saya memberikan apresiasi kepada dinas terkait yang telah menyelenggarakan advokasi ini untuk membangun cara pandang masyarakat supaya menghindari yang namanya KDRT," ujarnya.
Pemerintah daerah setempat, kata dia, menerapkan kebijakan yang direalisasikan melalui program prioritas dalam rangka membangun budaya antikekerasan dalam rumah tangga guna mewujudkan keluarga yang harmonis, rukun dan damai.
"Jadi upaya ini selalu mengarah kepada bagaimana menciptakan keluarga yang harmonis," kata Kalasuat.
Sementara itu, Kepala Dinas P2KBP3A Kabupaten Sorong Ferry Fatem mengatan advokasi kepada masyarakat tentang kebijakan dan pendampingan layanan perlindungan perempuan merupakan salah satu program strategi pemerintah guna membangun pola pikir yang baik dan benar soal kesetaraan.
"Sehingga nantinya menciptakan satu pola hidup harmonis dan saling menghargai antara suami dan istri, kemudian nantinya berdampak pada kerukunan di dalam membangun dan membina keluarga. Dampak KDRT itu adanya laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara," kata Ferry.
Dia menjelaskan bentuk KDRT itu berupa kekerasan fisik, kekerasan mental, ekonomi dan kekerasan seksual, dan dampaknya adalah korban tidak merasa tenang, traumatis, rasa sakit dan ketakutan.
Oleh karena itu, kata dia, upaya konkret Pemerintah Kabupaten Sorong melalui Dinas P2KBP3A adalah gencar melalukan sosialisasi untuk membangun kesadaran tentang adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
Dia menyebut banyak kasus KDRT yang terjadi di wilayah Kabupaten Sorong, namun hanya sedikit yang mengerti dan paham untuk melaporkan kasus itu kepada pemerintah maupun pihak kepolisian.
"Selain kita memberikan cara pandang tentang kesetaraan tetapi juga tentang dampak tindakan yang berujung pada pidana. Jadi, ketika masyarakat sudah paham secara benar tentang KDRT yang mengandung unsur pidana, maka diharapkan masyarakat sudah bisa melaporkan kasus itu kepada kepolisian," ujar Ferry.
Sebab, menurut dia, dalam Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pada Bab VIII tentang ketentuan pidana Pasal 44 dengan jelas menerangkan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan fisik di dalam lingkup rumah tangga dipidana paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.
Kemudian, kata dia, apabila kekerasan fisik mengakibatkan korban jatuh sakit dan luka berat, maka dipidana paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp30 juta.
"Kita harap dengan undang-undang yang telah disampaikan itu tentunya masyarakat merasa takut untuk melakukan KDRT, dan ini diterapkan sebagai bagian dari efek jerah kepada pelaku," ujar Kadis P2KBP3A Kabupaten Sorong ini.
Kabupaten Sorong perkuat advokasi minimalisir KDRT
Kamis, 30 November 2023 16:42 WIB