Sorong (ANTARA) - Bagi masyarakat adat Suku Moi Sorong, Provinsi Papua Barat, pohon sagu merupakan sumber pangan utama karena dapat diolah sebagai bahan makanan pengganti beras.
Pohon sagu (Metroxylon sp) tumbuh subur di wilayah Sorong dan secara turun temurun masyarakat setempat mengelola dan memanfaatkan tanaman tersebut sebagai bahan pangan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Papeda, misalnya, adalah salah satu makanan dari sagu yang bukan saja menjadi kegemaran masyarakat adat di wilayah Sorong, melainkan digemari masyarakat Indonesia yang mendiami daerah tersebut.
Pengelolaan dan pemanfaatan tanaman sagu secara berkelanjutan tersebut seiring dengan gerakan nasional pengendalian inflasi pangan yang saat ini digencarkan oleh pemerintah untuk menghadapi krisis di masa yang akan datang.
Pengelolaan sagu secara berkelanjutan telah dilakukan oleh masyarakat adat Suku MOI di Kampung Klayas, Kabupaten Sorong, yang didorong oleh PT Kilang Pertamina Internasional Refinery Unit VII Kasim.
Masyarakat Kampung Klayas Kabupaten Sorong mempunyai satu tempat terpusat atau sentral pengelolaan sagu berkelanjutan yang dibangun oleh BUMN itu dalam program pemberdayaannya.
Sentral pengelolaan sagu
Sentral pengelolaan sagu Kampung Klayas Kabupaten Sorong merupakan program pemberdayaan masyarakat dari perusahaan pelat merah tersebut pada tahun anggaran 2021.
Direktur Operasi BUMN tersebut Didik Bahagia mengatakan sentral pengelolaan sagu Kampung Klayas merupakan program pemberdayaan guna kemandirian ekonomi masyarakat.
Program pemberdayaan tersebut merupakan program BUMN Hadir untuk Negeri. Negara hadir untuk menjawab kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat.
Sentral pengelolaan sagu Kampung Klayas merupakan upaya pemerintah melalui Pertamina untuk membangkitkan perekonomian masyarakat secara berkelanjutan.
Sentral pengelolaan sagu tersebut bertujuan untuk memudahkan masyarakat, yang dulu mengolah secara manual dengan tenaga manusia di hutan, kini terpusat dengan menggunakan mesin. Selain lebih cepat, hasil olahan tersebut memberikan produk lebih berkualitas.
Selain itu, ampas dari pengelolaan sagu tersebut tidak dibuang tetapi dijadikan sebagai media guna budidaya jamur yang bergizi untuk dikonsumsi masyarakat setempat.
Ampas dari pengelolaan sagu tersebut juga diolah menjadi pupuk tanaman untuk dijual. Semua itu dilakukan oleh masyarakat Kampung Klayas setelah mendapatkan pelatihan dan pendampingan dari BUMN yang bergerak di bidang migas tersebut.
Pada sentral pengelolaan sagu Kampung Klayas juga dilakukan pembibitan pohon sagu untuk ditanam kembali. Pembibitan ini menjamin pasokan bahan pangan masyarakat setempat.
Sebab pohon sagu adalah sumber pangan masyarakat setempat sehingga tidak hanya ditebang untuk diolah tetapi juga ditanam kembali agar tetap berkelanjutan.
Tempat pengelolaan sagu ini merupakan satu sistem ekonomi sirkular atau sistem ekonomi melingkar dan berkelanjutan dengan nilai tambah bagi masyarakat.
Warga Kampung Klayas, Nahum Katumlas, mengatakan bahwa sentral pengelolaan sagu yang dibangun oleh perusahaan milik negara itu sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Awalnya, masyarakat setempat menebang dan mengelola sagu langsung di hutan jauh dari permukiman yang tentunya membutuhkan tenaga ekstra karena kerja secara manual dengan tangan manusia. Hasilnya juga pun disesuaikan dengan kemampuan tenaga manusia yang mengelola.
Berkat dukungan BUMN tersebut, pengelolaan dan pengolahan sagu semakin lebih mudah. Sagu ditebang di hutan kemudian diangkut dengan kendaraan roda tiga bantuan menuju ke sentral pengolahan untuk diolah dengan menggunakan mesin.
Pengelolaan sagu secara manual dengan tenaga manusia dalam sehari mampu menghasilkan satu sampai tiga tumang (wadah tepung sagu berbentuk piramida dan terbuat dari rumbia) tepung sagu untuk bahan pangan. Setelah memakai mesin dan diolah terpusat dalam satu hari menghasilkan lebih dari 10 tumang tepung sagu untuk bahan pangan.
Menurut Nahum, mesin tersebut menjadikan kerja lebih mudah dan hasilnya juga lebih banyak. Tidak hanya itu, perusahaan negara tersebut juga memberikan pelatihan mengelola berbagai jenis makanan berbahan dasar sagu, yang sangat sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Hasil pemetaan BPPT pada tahun 2015, area potensi sagu di Kabupaten Sorong diperkirakan mencapai 311.000 hektare yang tersebar di delapan distrik dengan potensi pati sagu sebesar 2,9 juta ton.
Melestarikan sagu
Menteri Pertanian Republik Indonesia Syahrul Yasin Limpo meminta masyarakat di wilayah Provinsi Papua Barat tetap melestarikan tanaman sagu sebagai cadangan pangan.
"Sagu adalah tumbuhan anugerah Tuhan yang luar biasa dan sudah lama ada untuk memenuhi pangan lokal sehingga jangan ditinggalkan," katanya di Manokwari, Provinsi Papua Barat.
Sagu berperan besar dalam penyediaan pangan sekaligus memperkuat ketahanan pangan di wilayah Provinsi Papua Barat. Keberadaannya memiliki andil besar pula pada ketahanan pangan nasional.
Ia menegaskan sebagai sumber karbohidrat yang dibutuhkan tubuh, masyarakat memakan beras, sagu, juga umbi-umbian, agar tetap kuat dan sehat.
Oleh karena itu, tanaman sagu akan dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan pangan di wilayah Papua Barat. Kementerian Pertanian sudah menyusun konsep lebih detail mengenai ketahanan pangan berbasis sagu dengan Pejabat Gubernur Papua Barat Paulus Waterpauw.
Sesuai arahan Presiden Joko Widodo, sektor pertanian harus menjadi bantalan ekonomi kehidupan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia
Presiden juga memerintahkan daerah-daerah lebih memaksimalkan pembangunan sektor pertanian. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua Barat melakukan gerakan menanam untuk memperkuat ketahanan pangan guna menghadapi krisis pangan di masa yang akan datang.
Provinsi Papua Barat punya lahan pertanian yang luas untuk menanam tanaman pangan. Memperkuat ketahanan pangan di Papua Barat berarti memperkuat pula ketahanan pangan nasional.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mengolah sagu di Sorong, memperkuat ketahanan pangan nasional