Aleta Rafikasinat (14) duduk di halaman sekolah, sambil menganyam atau menyulam kerajinan tangan dengan bahan olahan hasil dari hutan di Konda, Sorong Selatan, Papua Barat Daya.

Aleta adalah salah satu siswa dari Sekolah Sepanjang Hari (SSH) yang didirikan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sorong Selatan bekerja sama dengan Universitas Negeri Papua (Unipa) Manokwari sejak Agustus 2023.

Anak perempuan itu mengikuti SSH setelah sempat berhenti dari kelas tiga sekolah dasar (SD). Ketika tidak bersekolah itu, ia lebih banyak menghabiskan waktu ikut orang tua dan keluarganya ke kebun dan melaut.

"Saya berhenti di kelas tiga SD, dan waktu itu belum bisa membaca dan menulis, namun setelah hadirnya SSH saya kembali sekolah dan sekarang sudah bisa membaca dan menulis," ujar Aleta, saat berbincang dengan ANTARA di sekolah yang berada di Distrik Teminabuan itu.

Selama berhenti dari sekolah tersebut, kesehariannya dilalui bersama dengan orang tuanya berkebun, mengolah sagu, dan mencari udang dan ikan di laut. Hal itu dilakukan untuk membantu kedua orang tuanya mencari nafkah.

Awalnya ia sudah memastikan diri untuk tidak sekolah lagi, namun setelah ada program SSH dan pendekatan yang dilakukan oleh para guru, maka dia memutuskan untuk kembali dan bersemangat untuk sekolah di SSH.

Sejak putus sekolah, harapan atau cita-citanya menjadi pupus karena keterbatasan ekonomi. Berkat kehadiran SSH tersebut, kini ia bisa kembali bersekolah dan sudah berada di kelas lima.

Selain sudah bisa membaca dan menulis, kini, ia juga bisa menganyam atau menyulam topi dengan bahan dasar dari alam, serta sudah memiliki keterampilan menari. Semua keterampilan itu diajarkan di SSH, sehingga membuat para murid sangat senang dan betah untuk terus belajar.

Karena sudah mahir dalam membaca dan menulis, Aleta, kini sudah memiliki rasa percaya diri yang lebih bagus dibanding sebelumnya untuk tampil di depan publik.

Ia juga mendapat dukungan dari orang tua dan warga lingkungan di sekitar, serta mendapat motivasi dan dorongan agar tetap bersekolah untuk meraih cita-cita. Kini harapan yang sempat terkubur itu kembali bercahaya, setelah ia masuk dalam program SSH. Ia bercita-cita, kelak menjadi seorang perawat yang hidupnya didedikasikan untuk membantu banyak orang dalam bidang kesehatan.

Apa yang dialami Aleta itu hanya satu dari puluhan anak di Sorong Selatan yang merasakan memiliki harapan baru untuk meraih pendidikan yang lebih baik di masa depan lewat program SSH.

Kepala Dinas Pendidikan Sorong Selatan Hengki Gogoba mengatakan pemerintah daerah telah mengalokasikan anggaran senilai Rp10 miliar untuk 2024 ini dalam rangka melengkapi sejumlah fasilitas penunjang di SSH Konda. Dana itu diambil dari Dana Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Beberapa fasilitas yang baru diadakan dan diperbaiki adalah ruangan belajar dan laboratorium bagi siswa.

Pemkab tetap memberikan perhatikan khusus kepada SSH karena dinilai sangat efektif untuk memutus mata rantai anak putus sekolah di Sorong Selatan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 7.000 anak yang putus sekolah, tersebar di 15 distrik dan 120 kampung. Jumlah itu dapat terus ditekan dengan program SSH.

Pemerintah kabupaten tengah berupaya untuk menghadirkan SSH di semua distrik, agar anak-anak yang putus sekolah memiliki kesempatan untuk kembali ke sekolah.

Kerja sama

Keberlangsungan SSH hingga bertahan sampai saat ini, tidak lepas dari kerja sama pemerintah daerah dengan kalangan kampus di daerah itu, yakni Universitas Negeri Papua (Unipa) Manokwari.

Guru pendamping dari Unipa Manokwari Elisar Ruben Simanjuntak mengatakan sejak Agustus 2023, ia bersama beberapa temannya ditugaskan untuk melakukan pendampingan di SSH Konda.

Setelah melakukan survei dan analisis, tim itu kemudian membuat modul belajar khusus untuk para siswa SSH. Dari modul tersebut, para siswa tidak hanya menghabiskan waktunya di kelas, namun disiapkan waktu untuk belajar di alam terbuka, dengan berkebun hidroponik dan mengasah kemampuan dan keterampilan, yakni kerajinan tangan dan menari.

Tujuan dari modul itu adalah untuk mendekatkan para siswa dengan alam, sesuai dengan karakteristik budaya setempat. Hal itu mempermudah para siswa dalam menganalisa dan menangkap ilmu yang diberikan oleh guru.

Dengan metode belajar seperti itu para siswa lebih cepat menangkap materi pelajaran dan daya ingat mereka juga menjadi lebih bagus.

Gratis

Kepala SSH Konda Yosias Ajamsaru mengatakan selain memiliki modul pendidikan yang berbeda, pihaknya juga menerapkan sistem yang mirip dengan pola asrama, dengan tujuan agar para siswa hanya fokus mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Sejak dibangun pada Agustus 2023, sekolah itu menerapkan kebijakan tanpa biaya atau gratis bagi para siswa. Para siswa menerima semua perlengkapan sekolah, mulai dari seragam, buku tulis, hingga perlengkapan lainnya.

Selain itu, pengelola juga menyiapkan waktu bagi para siswa untuk berkegiatan, mulai dari pukul 06.00 WIT harus sudah bangun untuk mandi, menyiapkan diri untuk berangkat ke sekolah, termasuk sarapan pagi, karena kegiatan belajar dimulai tepat pukul 07.30 WIT.

Para siswa pada pagi hari, sebelum melaksanakan kegiatan belajar, terlebih dahulu menjalankan doa bersama, selanjutnya mengikuti kegiatan belajar mengajar. Pada siang hari, sekitar pukul 12.00 WIT para siswa makan siang bersama yang disediakan oleh sekolah, selanjutnya beristirahat, dan kembali menjalankan aktivitas belajar pada pukul 14.00 WIT.

Setelah mengikuti belajar di sekolah hingga pukul 16.00 WIT, selanjutnya siswa mengganti pakaian seragam yang dikenakan untuk dicuci sehingga bisa digunakan pada hari berikutnya, sementara siswa yang bersangkutan akan dikembalikan ke rumahnya. Ada yang dijemput orang tua, ada yang pulang sendiri menggunakan kendaraan umum.

Secara formal, sekolah tersebut berada di bawah naungan SDN Inpres 11 Konda. Hanya saja, untuk program SSH, para siswa mendapatkan perlakuan khusus yang berbeda dari siswa reguler di sekolah dasar tersebut, termasuk pendampingan intensif agar mereka bisa membaca dan menulis. Saat ini, ada 46 siswa putus sekolah yang menjadi siswa di SSH Konda.

Kekhususan lainnya adalah penanaman keterampilan hidup maupun kesenian yang dialokasikan waktu pada Jumat dan Sabtu. Pada dua hari itu, siswa SSH fokus belajar mengenai keterampilan tangan dan kesenian, khususnya tarian yang juga memiliki makna untuk pelestarian budaya lokal.

Tahun ini, sekolah khusus itu akan meluluskan 4 orang siswa yang semuanya akan melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama (SMP). Sebelumnya, 4 anak lulusan SSH itu tidak pernah bermimpi bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMP.

Kehadiran SSH yang didukung oleh kalangan kampus serta masyarakat yang merasa terbantu, merupakan wujud hadirnya negara (pemerintah daerah) untuk membantu warganya agar dapat menikmati pendidikan secara optimal, khususnya bagi anak-anak yang masih usia sekolah dasar (SD). Kehadiran SSH itu juga memberi semangat baru bagi anak-anak di Papua untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya di masa depan.

 
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Sekolah Sepanjang Hari atasi putus sekolah di Sorong Selatan

Pewarta: Paulus Pulo

Editor : Evarianus Supar


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2024