Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mendorong Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat menurunkan angka perkawinan usia muda mengingat prevalensi stunting yang meningkat.
"Kalau informasi terkait dengan kawin terlalu muda, ini ada data banyaknya kelahiran tiap 1.000 perempuan pada kelompok umur tertentu, contoh di Asmat, setiap seribu perempuan yang pernah melahirkan pada usia 15-19 tahun ada 105 orang," ujar Hasto dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting Provinsi Papua meningkat dari 29,5 persen pada tahun 2021 menjadi 34,6 persen pada tahun 2022, sedangkan Papua Barat dari 26,2 persen pada tahun 2021, naik menjadi 30 persen pada 2022.
Melihat kondisi tersebut, Hasto mendorong pemerintah dan masyarakat agar bekerja keras untuk menurunkan perkawinan usia muda, terutama di Tolikara, Asmat, Mappi, kemudian di daerah-daerah seperti pegunungan tengah yang angkanya masih cukup tinggi.
Hasto juga menyebut peran Tim Pendamping Keluarga (TPK) penting untuk menurunkan perkawinan usia muda guna percepatan penurunan stunting, dengan jumlah 17.394 tim yang masing-masing terdiri dari bidan, kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan kader Keluarga Berencana (KB).
"Saya kira wali kota, bupati, dan para asisten bisa menggerakkan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS)-nya, kemudian dihubungkan dengan Tim Pendamping Keluarga (TPK), sehingga setiap saat TPK bisa mendampingi ibu-ibu yang berisiko tinggi melahirkan anak stunting," katanya.
Menurut Hasto, dalam kegiatan pencegahan kasus stunting, TPK harus mendata mulai dari calon pengantin, misalnya siapa dan di mana calon pengantin bermukim, mengingat masih sedikitnya para calon pengantin di Papua yang mendaftar pada aplikasi Elektronik Siap Nikah Siap Hamil (Elsimil).
"Saya memaklumi betul kondisi geografis di Papua. Bila aplikasi Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) dari Kementerian Agama mendata mereka yang menikah, di BKKBN ada aplikasi Elsimil untuk merekam siapa yang tidak sehat, yang anemia, dan lainnya, tetapi sampai saat ini yang tercatat di Elsimil sedikit sekali," tuturnya.
Ia menyebutkan pentingnya gubernur memperhatikan wilayah yang angka kesuburan total atau total fertility rate (TFR)-nya masih tinggi.
"Beberapa wilayah memang angka stunting cukup tinggi. Ini yang perlu dicermati oleh gubernur, di Asmat, angka TFR juga paling tinggi, artinya jumlah anak dalam keluarga yang ada di Asmat memang tertinggi di Papua, sehingga menyebabkan stunting juga tinggi," kata dia.
Sebagai informasi, angka kesuburan total di Asmat yakni 4,22 dengan prevalensi stunting 54,5 persen.
Menurut Hasto, selain angka kesuburan total yang perlu diatur, jarak kelahiran yang ideal dan pemberian ASI eksklusif juga harus jadi komitmen kuat yang harus dilakukan seluruh pihak.
"Pengukuran berat dan tinggi badan anak juga harus dilakukan oleh tenaga-tenaga kesehatan yang terlatih, profesional dan tepat agar mendapatkan hasil yang baik," katanya.
Sementara, Asisten Deputi Bidang Ketahanan Gizi dan Promosi Kesehatan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Jelsy Marampa yang juga hadir dalam acara tersebut mengatakan bahwa pengukuran harus seragam dengan alat antropometri.
"Banyak kebijakan baik disampaikan Presiden langsung maupun Menko PMK dalam road show, pengadaan sudah diberikan, tentu kita harus pantau di lapangannya, dan kita meyakinkan tenaga-tenaga yang ada di lapangan untuk melakukan sesuai dengan petunjuk atau standar yang sudah ada," kata Jelsy.
"Kalau informasi terkait dengan kawin terlalu muda, ini ada data banyaknya kelahiran tiap 1.000 perempuan pada kelompok umur tertentu, contoh di Asmat, setiap seribu perempuan yang pernah melahirkan pada usia 15-19 tahun ada 105 orang," ujar Hasto dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting Provinsi Papua meningkat dari 29,5 persen pada tahun 2021 menjadi 34,6 persen pada tahun 2022, sedangkan Papua Barat dari 26,2 persen pada tahun 2021, naik menjadi 30 persen pada 2022.
Melihat kondisi tersebut, Hasto mendorong pemerintah dan masyarakat agar bekerja keras untuk menurunkan perkawinan usia muda, terutama di Tolikara, Asmat, Mappi, kemudian di daerah-daerah seperti pegunungan tengah yang angkanya masih cukup tinggi.
Hasto juga menyebut peran Tim Pendamping Keluarga (TPK) penting untuk menurunkan perkawinan usia muda guna percepatan penurunan stunting, dengan jumlah 17.394 tim yang masing-masing terdiri dari bidan, kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan kader Keluarga Berencana (KB).
"Saya kira wali kota, bupati, dan para asisten bisa menggerakkan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS)-nya, kemudian dihubungkan dengan Tim Pendamping Keluarga (TPK), sehingga setiap saat TPK bisa mendampingi ibu-ibu yang berisiko tinggi melahirkan anak stunting," katanya.
Menurut Hasto, dalam kegiatan pencegahan kasus stunting, TPK harus mendata mulai dari calon pengantin, misalnya siapa dan di mana calon pengantin bermukim, mengingat masih sedikitnya para calon pengantin di Papua yang mendaftar pada aplikasi Elektronik Siap Nikah Siap Hamil (Elsimil).
"Saya memaklumi betul kondisi geografis di Papua. Bila aplikasi Sistem Informasi Manajemen Nikah (Simkah) dari Kementerian Agama mendata mereka yang menikah, di BKKBN ada aplikasi Elsimil untuk merekam siapa yang tidak sehat, yang anemia, dan lainnya, tetapi sampai saat ini yang tercatat di Elsimil sedikit sekali," tuturnya.
Ia menyebutkan pentingnya gubernur memperhatikan wilayah yang angka kesuburan total atau total fertility rate (TFR)-nya masih tinggi.
"Beberapa wilayah memang angka stunting cukup tinggi. Ini yang perlu dicermati oleh gubernur, di Asmat, angka TFR juga paling tinggi, artinya jumlah anak dalam keluarga yang ada di Asmat memang tertinggi di Papua, sehingga menyebabkan stunting juga tinggi," kata dia.
Sebagai informasi, angka kesuburan total di Asmat yakni 4,22 dengan prevalensi stunting 54,5 persen.
Menurut Hasto, selain angka kesuburan total yang perlu diatur, jarak kelahiran yang ideal dan pemberian ASI eksklusif juga harus jadi komitmen kuat yang harus dilakukan seluruh pihak.
"Pengukuran berat dan tinggi badan anak juga harus dilakukan oleh tenaga-tenaga kesehatan yang terlatih, profesional dan tepat agar mendapatkan hasil yang baik," katanya.
Sementara, Asisten Deputi Bidang Ketahanan Gizi dan Promosi Kesehatan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Jelsy Marampa yang juga hadir dalam acara tersebut mengatakan bahwa pengukuran harus seragam dengan alat antropometri.
"Banyak kebijakan baik disampaikan Presiden langsung maupun Menko PMK dalam road show, pengadaan sudah diberikan, tentu kita harus pantau di lapangannya, dan kita meyakinkan tenaga-tenaga yang ada di lapangan untuk melakukan sesuai dengan petunjuk atau standar yang sudah ada," kata Jelsy.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kepala BKKBN dorong pemerintah Papua turunkan perkawinan usia muda