Jakarta (ANTARA) - Karisma beras dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di negara ini, memang belum bisa tertandingi oleh jenis bahan pangan karbohidrat yang lain. Beras yang bila ditanak berubah menjadi nasi, masih menjadi kebutuhan pokok sebagian besar masyarakat guna menyambung nyawa kehidupan.
Itu sebabnya, beras disebut sebagai komoditas politis dan strategis. Politis karena beras sangat berperan dalam perhitungan inflasi yang dapat berpengaruh secara nyata terhadap gejolak perekonomian bangsa, sedangkan dikatakan strategis, karena beras terkait dengan mata pencaharian sebagian besar masyarakat di tanah air.
Begitulah hebatnya beras. Bukan cuma produksi dalam negeri yang kurang, namun merangkaknya harga beras di pasaran, membuat banyak kalangan yang terdampak.
Fluktuasi harga beras seringkali terpengaruh oleh berbagai faktor internal dan eksternal termasuk salah satunya kebijakan pemerintah saat mengoreksi harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Beberapa bulan lalu, Pemerintah kembali memperoleh penghargaan berkelas internasional atas kisah suksesnya meraih swasembada beras.
Negeri ini ditetapkan mampu berswasembada beras, karena selama periode 2019-2021, Indonesia tidak melakukan impor beras komersial. Produksi petani di dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan masyarakatnya.
Namun begitu, sekali pun dari sisi produksi semua elemen bangsa ini boleh berbangga atas prestasi swasembada beras, tapi dari sisi harga di pasaran, rupanya masih membutuhkan perhatian yang serius. Menggeliatnya harga beras, tentu saja tidak boleh dibiarkan. Pemerintah tentu berkewajiban untuk mengendalikannya.
Salah satu jurus manjur yang digarap Pemerintah, biasanya dengan menggelar operasi pasar beras di spot-spot tertentu. Operasi pasar diharapkan akan mampu menurunkan harga beras ke tingkat harga yang wajar. Perum Bulog bekerja-sama dengan instansi lain terkait, akan tampil sebagai ujung tombak kegiatan ini.
Soal beras, memang bukan hanya terkait dengan aspek produksi dan pemasaran, namun dari sisi konsumsi pun terasa menghadapi problem yang cukup serius untuk ditangani.
Beras yang dimasak menjadi nasi, sepertinya hingga kini masih menjadi makanan utama sebagian besar masyarakat. Ketergantungan masyarakat terhadap nasi, kelihatannya masih belum mampu terjawab oleh kebijakan yang ditempuh Pemerintah.
Diversifikasi Pangan
Program diversifikasi pangan, sudah saatnya diterapkan dengan pola-pola yang semakin rapi dan tepat sasaran. Diversifikasi pangan merupakan suatu usaha untuk mengajak masyarakat memberikan variasi terhadap makanan pokok yang dikonsumsi, agar tidak terfokus hanya pada satu jenis saja.
Kebijakan diversifikasi pangan perlu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan yang tinggi pada satu komoditas tertentu, sehingga perlu kebijakan penganekaragaman pangan yang sistematis dan tidak sporadis.
Titik lemah program diversifikasi pangan yang terasakan hingga kini adalah kekurangkonsistenan dalam menerapkan kebijakan.
Oleh karena itu, perlu disusun disain besar atau rencana besar yang utuh, holistik, dan komprehensif untuk jangka panjang. Pengembangan program diversifikasi pangan tidak boleh berorientasi proyek melainkan berorientasi pada hasil yang konkret.
Ini yang butuh pencermatan seluruh pihak secara bersama. Betul, tidak gampang mengganti nasi dengan jenis bahan pangan karbohidrat lain.
Budaya masyarakat di tanah air, jika belum mengkonsumsi nasi, mereka pasti akan menyatakan belum makan. Padahal 10 menit sebelumnya baru saja dirinya makan kupat tahu, roti, atau bubur ayam.
Tidak hanya itu inti masalahnya. Jika masyarakat sudah berkenan untuk mengganti nasi dengan jenis bahan pangan karbohidrat lain, maka pertanyaannya adalah bagaimana negara ini akan memperoleh bahan pangan pengganti nasi itu sendiri. Jika mau diganti pangan lokal, jenis pangan apa yang kini tersedia melimpah di pasar.
Maka kemudian bahan substitusi atau diversifikasinya pun perlu disiapkan dengan sangat matang. Alternatif pangan sumber karbohidrat seperti "nasi singkong" atau "nasi jagung", perlu diperdalam dari sisi skala uji coba atau penelitian.
Dan, yang terpenting bahan pangan tersebut harus tersedia dalam jumlah yang cukup besar. Bila bahan pengganti nasi belum siap juga, sah-sah saja masyarakat akan kembali mengkonsumsi nasi.
Lebih jauh lagi jika bahan pangan pengganti nasi ini, harganya lebih mahal daripada beras, maka akan semakin sulit mengajak masyarakat mengubah tradisi nasi, Sehingga diversifikasi beras harganya setidaknya harus lebih terjangkau dibandingkan beras.
Semua terjadi lantaran sebagian besar rakyat masih memiliki daya beli yang sangat sensitif terhadap harga. Sehingga mendorong peningkatan pendapatan per kapita masyarakat pun menjadi pekerjaan rumah yang lain.
Hasrat untuk meragamkan pola makan masyarakat agar tidak menggantungkan diri kepada nasi, juga tidak boleh hanya terbatas atau berhenti pada aspek kemauan politik.
Dalam tindakan nyata di lapangan, bangsa ini memang masih dihadapkan pada segudang persoalan yang menghadang.
Meski begitu, optimisme dan keteladanan yang baik akan menjadi satu kata kunci untuk mewujudkan keinginan tersebut. Artinya, para pemimpin harus memberi contoh nyata kepada rakyatnya.
Pemimpin dan para elit harus mulai memberikan contoh konkret, sekaligus berkampanye diversifikasi pangan. Hal itu akan mendorong semakin cepat terwujudnya semangat diversifikasi pangan menjadi kenyataan.
Memang, diversifikasi pangan bukan tanggung jawab satu per satu orang atau satu saja kementerian/lembaga, melainkan seluruh elemen bangsa. Sebab, tidak gampang mengganti nasi padahal banyak pangan lain yang tak kalah bermanfaat dan lezat di bumi nusantara.
*) Entang Sastraatmadja: Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menuju terwujudnya diversifikasi pangan nusantara