Pengamat masalah sosial di Provinsi Papua Barat Benyamin Lado menyarankan agar pemerintah provinsi dan kabupaten di wilayah itu meningkatkan edukasi penggunaan alat kontrasepsi moderen untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk.
 
"Penggunaan alat kontrasepsi harus didasari kesadaran yang tinggi. Edukasi harus jalan terus, karena karakteristik tiap daerah berbeda," kata Benyamin di Manokwari, Jumat.
 
Ia menjelaskan, metode penggunaan alat kontrasepsi secara berkala menjadi salah satu indikator yang digunakan dalam mengatur total angka kelahiran (fortalitas rate).
 
Penggunaannya lebih disarankan bagi pasangan usia subur dengan jumlah anak baru satu atau dua orang, sehingga upaya pengendalian jumlah penduduk berjalan maksimal.
 
"Kalau digunakan pasangan usia subur yang anaknya sudah di atas tiga orang atau usia di atas 35 tahun ya tidak berdampak," jelas dia. 
 
Menurut dia, perkembangan informasi teknologi turut berkontribusi terhadap pengetahuan masyarakat soal manfaat penggunaan alat kontrasepsi moderen.
 
Hal tergambar dari tingkat fertilitas penduduk di Papua Barat mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir yaitu 3,18 (SP 2010) menjadi 2,66 sesuai hasil SP 2022.
 
"Tapi sekali lagi, edukasi harus terus digencarkan karena manfaatnya itu untuk kesehatan reproduksi," jelas Benyamin.
 
Benyamin menerangkan, pengaturan angka kelahiran sesuai Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga bertujuan untuk meningkatkan kualitas penduduk. 
 
Pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tidak membatasi jumlah anak dari setiap pasangan tetapi mengatur jarak kelahiran.
 
Pemerintah menyarankan agar setiap keluarga merencanakan jumlah anak sesuai kemampuan finansial masing-masing.
 
"Kalau kualitas keluarga sudah baik maka berdampak terhadap kualitas keluarga di satu daerah dan di Indonesia," jelas dia.
 
Ia menilai pemerintah bukan penyelenggara tunggal program pengendalian penduduk melainkan peran aktif kemitraan dibutuhkan agar implementasi program terlaksana dengan baik.
 
Misalnya pelibatan komunitas masyarakat, lembaga keagamaan, tokoh adat dan lainnya di suatu daerah.
 
"Pemerintah hanya memiliki kewenangan mengatur regulasi, pembiayaan dan program. Implementasi programnya harus berjalan secara kemitraan," tutur Benyamin.
 
Koordinator Bidang Advokasi, Informasi Pelatihan, dan Pengembangan (APIP) BKKBN Perwakilan Papua Barat Baso Pikres menuturkan, penggunaan alat kontrasepsi oleh pasangan usia subur mengalami peningkatan 50 persen dari tahun ke tahun.
 
Seiring dengan peningkatan penggunaan alat kontrasepsi, maka perlu diminimalisir tingkat risiko komplikasi bagi peserta program keluarga berencana (KB).
 
Alat kontrasepsi seperti intrauterine device (IUD) dan KB implan memerlukan kompetensi khusus untuk pemasangan maupun pencabutannya.
 
Oleh sebabnya, BKKBN berkewajiban memberikan pengayoman dan pembinaan bagi akseptor yang sudah menggunakan alat kontrasepsi tersebut.
 
"Supaya yang belum gunakan bisa mulai gunakan, khususnya pascamelahirkan maupun pascakeguguran," jelas Pikres.
 
Ia mengakui bahwa ada banyak tantangan dalam penyebarluasan manfaat penggunaan alat kontrasepsi bagi seluruh masyarakat, khususnya di wilayah pedalaman.
 
Meski demikian, sosialisasi dan edukasi program keluarga berencana (KB) secara masif dilakukan ke wilayah perkampungan di Papua Barat.
 
Untuk mengotimalkan program KB, sambung dia, petugas lapangan menggandeng tokoh adat, tokoh perempuan dan tokoh agama di masing-masing kampung.
 
"Ada UPTD KB dan petugas lapangan kami terus memberikan pemahaman ke masyarakat," sebut Pikres.

Pewarta: Fransiskus Salu Weking

Editor : Evarianus Supar


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2023