Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat, tidak hanya terkenal dengan keindahan bawah lautnya. Ia juga punya hutan yang menyimpan berbagai keanekaragaman hayati. Berdasarkan data Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat, terdapat 258 spesies jenis burung. Ada 10 jenis burung endemik Papua dan 6 spesies diantaranya berada di Kabupaten Raja Ampat.
Enam spesies endemik di Raja Ampat masing-masing: Wilson bop (Cendrawasih botak), Red bop (Cendrawasih merah), Waigeo brush turkey ( Maleo Waigeo), Raja Ampat pitohui, Kofiau Paradise kingfisher (Cekakak Pita Kofiau), dan Kofiau monarch ( Kehicap Kofiau). Keenam inilah yang menjadi daya tarik wisata alam di kawasan hutan bagi para pencinta burung, fotografer, dan pencinta alam dari berbagai negara di belahan dunia.
Untuk menjaga kelestarian hutan dan keanekaragaman hayatinya hutan Raja Ampat, pemerintah bersama masyarakat menghadirkan atraksi menonton burung cenderawasih merah endemik Raja Ampat menari di alam liar. Salah satu Destinasi wisata menonton burung cendrawasih merah endemik Raja Ampat adalah kawasan hutan Warkesi.
Destinasi wisata hutan dengan luas 300 hektar di kawasan penyangga cagar alam Waigeo Barat tersebut dikelola Kelompok Tani Hutan (KTH) Warkesi, yang dibentuk oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat.
Ketua KTH Warkesi Alvian Sopuiyo mengatakan, destinasi wisata menonton burung cenderawasih merah menari tersebut mulai buka awal tahun 2018. Ia mengaku termotivasi untuk melindungi burung Cenderawasih endemik ini karena kerap diajak dalam kegiatan sosialisasi soal konservasi oleh Edwin Dawa, seorang pemandu wisata pengamatan burung.
Alvian memiliki masa lalu sebagai pemburu burung Cenderawasih. "Dulu saya sering memburu burung cenderawasih merah untuk dijual mati menggunakan bahan pengawet formalin. Saya sudah tidak ingat dan hitung berapa banyak barung cenderawasih saya tembak mati dengan senapan angin untuk dijual. Namun yang saya ingat terakhir saya beli formalin 20 liter habis terpakai untuk mengawetkan burung cenderawasih agar bisa dijual," ujarnya, 23 Oktober 2021.
Burung Cenderawasih tangkapannya lantas diawetkan dan ia mendapatkan uang cukup besar. Satu ekor bisa dijual bisa lebih dari Rp 500 ribu. Hanya saja Alpian merasa seperti dikejar-kejar dan kerap harus sembunyi-sembunyi dan menghindari polisi maupun petugas Balai Konservasi. Sebab, Cenderawasih tal boleh diburu karena dilindungi. "Selain itu saya merasa berdosa karena banyak orang berupaya kampanye melindungi cenderawasih untuk anak cucu di masa-masa mendatang sedangkan saya berburu untuk mendapatkan uang sesaat," ujarnya. Penghasilan dari membuka destinasi wisata menonton burung Ccenderawasih merah di hutan Warkesi sebenarnya tidak besar. Satu orang tamu yang masuk kawasan hutan untuk menonton burung Cenderawasih merah menari perlu membayar Rp 250.000. Uangnya pun dibagi dengan anggota KTH Warkesi lainnya.
Namun Alvian mengaku senang karena tak terbebani dan tidak perlu sembunyi-sembunyi dari polisi maupun balai konservasi seperti profesi dia sebelumnya. "Sekarang ini satu ekor cenderawasih menari di kawasan hutan Warkesi dinikmati sedunia sebab wisatawan yang sebagian besar adalah mancanegara hanya datang untuk menonton dan foto," ujarnya.
Alvian mengungkapkan, sejak destinasi ini dibuka pada tahun 2018 hingga tahun 2021, setidaknya ada 1.000 wisatawan dalam dan luar negeri yang berkunjung. Sebagian besar adalah fotografer asal Asia.
Selama pandemi, tidak ada kunjungan wisatawan. Destinasi wisata itu pun memilih tutup. "Masyarakat kelompok KTH Warkesi sebanyak 30 kepala keluarga memilih merawat kawasan dengan melakukan patroli secara rutin. Serta bertani untuk bertahan hidup di tengah pandemi COVID-19," tambahnya.
Edwin Dawa, pemandu wisata yang juga anggota KTH Warkesi mengatakan, destinasi wisata pengamatan burung cendrawasih tersebut sejak dibuka pada tahun 2018 terus berkembang dan ramai kunjungan wisatawan minat khusus pencinta alam. KTH Warkesi bekerjasama dengan pemilik penginpan dan resort di Raja Ampat untuk mempromosikan destinasi ini dan menarik wisatawan untuk datang.
Wisatawan yang datang ke kawasan hutan Warkesi tidak hanya dapat menonton Cendrawasih merah, tetapi juga ada Cendrawasih botak. Hanya saja, kata Edwin Dawa, Cenderawasih botak ini masih liar dan jarang ditemukan. Ini berbeda dengan Cendrawasih merah yang setiap pagi maupun sore hari bisa terlihat menari di kawasan hutan tersebut. Di kawasan hutan Warkesi wisatawan juga dapat melihat jenis burung lainnya seperti Kakatua Jambul Kuning, Julang Papua, Kakatua Raja, Nuri, Raja Udang, Maleo Waigeo, dan berbagai jenis ular piton.
Pemandu wisata adalah pekerjaan yang sudah ditekuni Edwin Dawa cukup lama. Sebelumnya ia juga pernah bekerja di homestay dan resort untuk melayani wisatawan, selain aktif di berbagai kegiatan konservasi. Sampai akhirya pada 2018 lalu ia bersama Alvian membuka destinasi wisata menonton burung Ccenderawasih merah ini. "Kami konsisten menjaga kawasan hutan Warkesi karena kawasan itu ibarat piring makan. Artinya, ketika ada kunjungan wisatawan ada uang untuk makan," ujarnya, 23 Oktober 2021.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat, Budi Mulyanto mengatakan, setelah KTH Warkesi terbentuk, tetap ada pendampingan yang dilakukan. Juga ada peningkatan pengetahuan dan keterampilan terhadap pengelola KTH dalam mengelola destinasi wisata menonton burung Cenderawasih merah tersebut. Sebagai bagian dari upaya menjaga kasawan hutan, kata Budi Mulyanto, juga ada kegiatan Smart Patrol yang dilakukan oleh KTH didampingi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. "Kegiatan Smart Patrol ini penting karena masyarakat kelompok KTH sendiri yang melakukan patroli yang didampingi BBKSDA sehingga masyarakat semakin peduli terhadap hutan yang mereka kelola," kata dia, 8 November 2021.
BKSDA juga membantu warga yang tergabung dalam KTH agar dapat mengembangkan ekonominya, baik dengan membuat sovenir, kuliner dan usaha lainnya. "Sebab jika perekonomian masyarakat kelompok KTH meningkat, mereka akan tetap konsisten menjaga kawasan hutan yang memberinya sumber kehidupan," kata Budi Mulyanto.
Kepala Bidang Teknis BBKSDA Papua Barat, Tasliman menambahkan, destinasi wisata menonton burung Cenderawasih merah di hutan Warkesi ini merupakan salah satu contoh upaya pelestarian oleh masyarakat yang memberikan manfaat ekonomi. Apalagi Raja Ampat merupakan tujuan wisata dunia dan burung Cenderawasih merah endemik Waigeo, burung unik yang tidak ada di belahan dunia manapun. Karena itu, kekayaan keanekaragaman hayati ini harus terus dijaga," kata dia, 1 November 2021.
Tasliman mengatakan, BBKSDA Papua Barat punya program monitoring populasi Cenderawasih merah endemik Raja Ampat. Namun monitoring tidak dilakukan di seluruh hutan Waigeo, tetapi menggunakan metode sampel pada satu titik pengamatan. Pengamatan dilakukan pada satu titik tempat bermain burung cendrawasih merah seluas satu hektare sebagai sampel untuk mengetahui peningkatan populasi.
Berdasarkan pengamatan di Cagar Alam Waigeo Barat, kata Tasliman, dalam lima tahun terakhir ini terlihat ada peningkatan keberadaan Cenderawasih merah. Pada 2015 di satu hektar kawasan pengamatan ditemukan sebanyak 10 ekor, 2016 (10), 2017 (11), 2018 (15), 2019 (15). Ia mengajak masyarakat agar ikut menjaga burung endemik tersebut. "Biarkan burung itu hidup bebas di alam pulau Waigeo sehingga jika orang ingin melihatnya harus datang ke Raja Ampat," tambahnya.
Kelompok Tani Hutan Warkesi tidak hanya didampingi oleh BBKSDA Papua Barat, tetapi juga oleh lembaga konservasi Flora Fauna Internasional Program Raja Ampat. "Peningkatan kualitas SDM dengan pelatihan pemandu wisata pengamatan burung bagi KTH Warkesi, patroli, monitoring populasi Cenderawasih merah endemik Raja Ampat, semuanya dilakukan Flora Fauna Internasional Program Raja Ampat bersama BBKSDA Papua Barat," kata Program manager FFI Raja Ampat, Andhy Priyo Sayogo, 6 November 2021.
Andhy Priyo Sayogo berharap masyarakat Raja Ampat menjaga kelestarian hutan Warkesi dan Cenderawasih merah endemik Raja Ampat, burung yang juga kerap dijuluki sebagai "Burung Surga" karena keindahannya itu. Sebab, lembaga internasional yang mengamati konservasi, The International Union for Conservation of Nature (IUCN), menetapkan status spesies ini hampir terancam.
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2021
Enam spesies endemik di Raja Ampat masing-masing: Wilson bop (Cendrawasih botak), Red bop (Cendrawasih merah), Waigeo brush turkey ( Maleo Waigeo), Raja Ampat pitohui, Kofiau Paradise kingfisher (Cekakak Pita Kofiau), dan Kofiau monarch ( Kehicap Kofiau). Keenam inilah yang menjadi daya tarik wisata alam di kawasan hutan bagi para pencinta burung, fotografer, dan pencinta alam dari berbagai negara di belahan dunia.
Untuk menjaga kelestarian hutan dan keanekaragaman hayatinya hutan Raja Ampat, pemerintah bersama masyarakat menghadirkan atraksi menonton burung cenderawasih merah endemik Raja Ampat menari di alam liar. Salah satu Destinasi wisata menonton burung cendrawasih merah endemik Raja Ampat adalah kawasan hutan Warkesi.
Destinasi wisata hutan dengan luas 300 hektar di kawasan penyangga cagar alam Waigeo Barat tersebut dikelola Kelompok Tani Hutan (KTH) Warkesi, yang dibentuk oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat.
Ketua KTH Warkesi Alvian Sopuiyo mengatakan, destinasi wisata menonton burung cenderawasih merah menari tersebut mulai buka awal tahun 2018. Ia mengaku termotivasi untuk melindungi burung Cenderawasih endemik ini karena kerap diajak dalam kegiatan sosialisasi soal konservasi oleh Edwin Dawa, seorang pemandu wisata pengamatan burung.
Alvian memiliki masa lalu sebagai pemburu burung Cenderawasih. "Dulu saya sering memburu burung cenderawasih merah untuk dijual mati menggunakan bahan pengawet formalin. Saya sudah tidak ingat dan hitung berapa banyak barung cenderawasih saya tembak mati dengan senapan angin untuk dijual. Namun yang saya ingat terakhir saya beli formalin 20 liter habis terpakai untuk mengawetkan burung cenderawasih agar bisa dijual," ujarnya, 23 Oktober 2021.
Burung Cenderawasih tangkapannya lantas diawetkan dan ia mendapatkan uang cukup besar. Satu ekor bisa dijual bisa lebih dari Rp 500 ribu. Hanya saja Alpian merasa seperti dikejar-kejar dan kerap harus sembunyi-sembunyi dan menghindari polisi maupun petugas Balai Konservasi. Sebab, Cenderawasih tal boleh diburu karena dilindungi. "Selain itu saya merasa berdosa karena banyak orang berupaya kampanye melindungi cenderawasih untuk anak cucu di masa-masa mendatang sedangkan saya berburu untuk mendapatkan uang sesaat," ujarnya. Penghasilan dari membuka destinasi wisata menonton burung Ccenderawasih merah di hutan Warkesi sebenarnya tidak besar. Satu orang tamu yang masuk kawasan hutan untuk menonton burung Cenderawasih merah menari perlu membayar Rp 250.000. Uangnya pun dibagi dengan anggota KTH Warkesi lainnya.
Namun Alvian mengaku senang karena tak terbebani dan tidak perlu sembunyi-sembunyi dari polisi maupun balai konservasi seperti profesi dia sebelumnya. "Sekarang ini satu ekor cenderawasih menari di kawasan hutan Warkesi dinikmati sedunia sebab wisatawan yang sebagian besar adalah mancanegara hanya datang untuk menonton dan foto," ujarnya.
Alvian mengungkapkan, sejak destinasi ini dibuka pada tahun 2018 hingga tahun 2021, setidaknya ada 1.000 wisatawan dalam dan luar negeri yang berkunjung. Sebagian besar adalah fotografer asal Asia.
Selama pandemi, tidak ada kunjungan wisatawan. Destinasi wisata itu pun memilih tutup. "Masyarakat kelompok KTH Warkesi sebanyak 30 kepala keluarga memilih merawat kawasan dengan melakukan patroli secara rutin. Serta bertani untuk bertahan hidup di tengah pandemi COVID-19," tambahnya.
Edwin Dawa, pemandu wisata yang juga anggota KTH Warkesi mengatakan, destinasi wisata pengamatan burung cendrawasih tersebut sejak dibuka pada tahun 2018 terus berkembang dan ramai kunjungan wisatawan minat khusus pencinta alam. KTH Warkesi bekerjasama dengan pemilik penginpan dan resort di Raja Ampat untuk mempromosikan destinasi ini dan menarik wisatawan untuk datang.
Wisatawan yang datang ke kawasan hutan Warkesi tidak hanya dapat menonton Cendrawasih merah, tetapi juga ada Cendrawasih botak. Hanya saja, kata Edwin Dawa, Cenderawasih botak ini masih liar dan jarang ditemukan. Ini berbeda dengan Cendrawasih merah yang setiap pagi maupun sore hari bisa terlihat menari di kawasan hutan tersebut. Di kawasan hutan Warkesi wisatawan juga dapat melihat jenis burung lainnya seperti Kakatua Jambul Kuning, Julang Papua, Kakatua Raja, Nuri, Raja Udang, Maleo Waigeo, dan berbagai jenis ular piton.
Pemandu wisata adalah pekerjaan yang sudah ditekuni Edwin Dawa cukup lama. Sebelumnya ia juga pernah bekerja di homestay dan resort untuk melayani wisatawan, selain aktif di berbagai kegiatan konservasi. Sampai akhirya pada 2018 lalu ia bersama Alvian membuka destinasi wisata menonton burung Ccenderawasih merah ini. "Kami konsisten menjaga kawasan hutan Warkesi karena kawasan itu ibarat piring makan. Artinya, ketika ada kunjungan wisatawan ada uang untuk makan," ujarnya, 23 Oktober 2021.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua Barat, Budi Mulyanto mengatakan, setelah KTH Warkesi terbentuk, tetap ada pendampingan yang dilakukan. Juga ada peningkatan pengetahuan dan keterampilan terhadap pengelola KTH dalam mengelola destinasi wisata menonton burung Cenderawasih merah tersebut. Sebagai bagian dari upaya menjaga kasawan hutan, kata Budi Mulyanto, juga ada kegiatan Smart Patrol yang dilakukan oleh KTH didampingi Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. "Kegiatan Smart Patrol ini penting karena masyarakat kelompok KTH sendiri yang melakukan patroli yang didampingi BBKSDA sehingga masyarakat semakin peduli terhadap hutan yang mereka kelola," kata dia, 8 November 2021.
BKSDA juga membantu warga yang tergabung dalam KTH agar dapat mengembangkan ekonominya, baik dengan membuat sovenir, kuliner dan usaha lainnya. "Sebab jika perekonomian masyarakat kelompok KTH meningkat, mereka akan tetap konsisten menjaga kawasan hutan yang memberinya sumber kehidupan," kata Budi Mulyanto.
Kepala Bidang Teknis BBKSDA Papua Barat, Tasliman menambahkan, destinasi wisata menonton burung Cenderawasih merah di hutan Warkesi ini merupakan salah satu contoh upaya pelestarian oleh masyarakat yang memberikan manfaat ekonomi. Apalagi Raja Ampat merupakan tujuan wisata dunia dan burung Cenderawasih merah endemik Waigeo, burung unik yang tidak ada di belahan dunia manapun. Karena itu, kekayaan keanekaragaman hayati ini harus terus dijaga," kata dia, 1 November 2021.
Tasliman mengatakan, BBKSDA Papua Barat punya program monitoring populasi Cenderawasih merah endemik Raja Ampat. Namun monitoring tidak dilakukan di seluruh hutan Waigeo, tetapi menggunakan metode sampel pada satu titik pengamatan. Pengamatan dilakukan pada satu titik tempat bermain burung cendrawasih merah seluas satu hektare sebagai sampel untuk mengetahui peningkatan populasi.
Berdasarkan pengamatan di Cagar Alam Waigeo Barat, kata Tasliman, dalam lima tahun terakhir ini terlihat ada peningkatan keberadaan Cenderawasih merah. Pada 2015 di satu hektar kawasan pengamatan ditemukan sebanyak 10 ekor, 2016 (10), 2017 (11), 2018 (15), 2019 (15). Ia mengajak masyarakat agar ikut menjaga burung endemik tersebut. "Biarkan burung itu hidup bebas di alam pulau Waigeo sehingga jika orang ingin melihatnya harus datang ke Raja Ampat," tambahnya.
Kelompok Tani Hutan Warkesi tidak hanya didampingi oleh BBKSDA Papua Barat, tetapi juga oleh lembaga konservasi Flora Fauna Internasional Program Raja Ampat. "Peningkatan kualitas SDM dengan pelatihan pemandu wisata pengamatan burung bagi KTH Warkesi, patroli, monitoring populasi Cenderawasih merah endemik Raja Ampat, semuanya dilakukan Flora Fauna Internasional Program Raja Ampat bersama BBKSDA Papua Barat," kata Program manager FFI Raja Ampat, Andhy Priyo Sayogo, 6 November 2021.
Andhy Priyo Sayogo berharap masyarakat Raja Ampat menjaga kelestarian hutan Warkesi dan Cenderawasih merah endemik Raja Ampat, burung yang juga kerap dijuluki sebagai "Burung Surga" karena keindahannya itu. Sebab, lembaga internasional yang mengamati konservasi, The International Union for Conservation of Nature (IUCN), menetapkan status spesies ini hampir terancam.
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2021