Jakarta (ANTARA) - Perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tak terasa akan dimulai dalam kurun waktu beberapa hari ke depan.
Pemerintah Indonesia yang telah didapuk setahun yang lalu sebagai tuan rumah, sudah melakukan persiapan final untuk menyambut kepala negara yang tergabung dalam forum G20, yang terdiri atas Australia, Arab Saudi, Korea Selatan, Jepang, Turki, Kanada, Afrika Selatan, India, Amerika Serikat, Italia, Argentina, Rusia, Brazil, Meksiko, serta Uni Eropa.
Selain itu juga ada undangan khusus yang bukan anggota G20, seperti Singapura, Kamboja, Spanyol, Uni Emirat Arab, Belanda, Senegal, Finlandia, Suriname, dan Fiji. Plus tambahan 10 undangan dari kepala negara serta tokoh penting dunia.
Presiden Joko Widodo pada saat menyampaikan pembukaan P20 di Gedung Parlemen DPR RI Senayan menyebutkan sudah ada 17 kepala negara yang mengonfirmasi untuk menghadiri kegiatan tersebut di Bali, dan 3 kepala negara belum memberi kepastian hadir atau tidaknya.
G20 sendiri merupakan momentum yang krusial serta berharga bagi Indonesia yang pertama kali ditunjuk menjadi tuan rumah semenjak G20 berdiri, setelah perang dingin dan krisis moneter yang melanda dunia pada tahun 1997. Tujuan dari G20 ini adalah bagian dari mengonsolidasikan negara maju dan berkembang untuk bersama-sama mengatasi krisis serta mewujudkan pertumbuhan global yang kuat serta berkelanjutan.
Yang perlu menjadi catatan adalah terkait penyelenggaraan G20 tahun ini yang tentunya berbeda dari tahun tahun sebelumnya adalah dunia sedang berada di dalam pusaran ketidakpastian. Efek dari kondisi global yang makin dinamis, bahkan banyak kalangan yang memprediksi bahwa di tahun 2023 dunia akan mengalami resesi ekonomi yang hebat. Hal itu ditandai dengan kondisi hari ini yang melanda sebagian negara menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Memori ingatan kita masih tersimpan dengan jelas bahwa salah satu faktor yang menjadi penyebab ketidakpastian yang melanda hari ini adalah efek dari Perang Ukraina dengan Rusia yang tak kunjung usai. Semenjak Rusia menyerang Ukraina pada awal 2022 membuat tatanan dunia menjadi goyah dan semakin tak terarah.
Perang Ukraina-Rusia berdampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat global, bukan hanya dari segi politik, tapi dampak yang lebih luas secara ekonomi. Bahkan Bank Dunia merilis dampak dari perang ini menurunkan pertumbuhan ekonomi global yang semula dari 4,1 persen menjadi 2,9 persen. Disebabkan oleh terganggunya rantai pasokan global, seperti terbatasnya akses ekspor impor yang berimbas pada kenaikan energi hingga harga komoditas.
Selama Perang Ukraina-Rusia berlangsung terjadi pembatasan akses energi, seperti minyak dan gas serta komoditas yang berimbas pada kenaikan harga, menyebabkan terjadinya inflasi yang sangat tinggi di sebagian negara di dunia. Tentunya kondisi ini menjadi sangat dilematis, di saat dunia ingin kembali pulih setelah dihantam pandemi yang berkepanjangan, kini kembali dihadapkan dengan ancaman krisis kembali akibat dari Perang Rusia dan Ukraina yang tak kunjung usai.
Kondisi lain yang semakin membuat dunia makin tidak pasti adalah meningkatnya suhu politik di berbagai kawasan yang melibatkan negara-negara adidaya, seperti memanasnya hubungan Amerika Serikat dengan China yang memiliki pandangan berbeda terkait kondisi di Laut China Selatan serta Taiwan. Apalagi dengan adanya lawatan Nancy Pelosi yang merupakan Ketua DPR Amerika Serikat ke Taiwan semakin membuat Beijing meradang, di saat ambisi Tiongkok melalui kebijakan One China Policynya ingin kembali mengintegrasikan Taiwan menjadi bagian dari Republik Rakyat China.
Selain itu, adanya rasa insecure dari Amerika Serikat terkait manuver China di Laut China Selatan, semenjak adanya One Belt and One Road yang merupakan salah satu kebijakan ekonomi ambisius yang dikeluarkan Tiongkok pada masa pemerintahan Xi Jinping pada tahun 2013, padahal keinginan Amerika Serikat adalah perairan di Laut China Selatan sebagai jalur navigasi perdagangan yang bebas, sehingga membuat eskalasi konflik yang terjadi di Laut China Selatan semakin tinggi.
Kondisi lain yang membuat pemimpin dunia khawatir adalah terkait meningkatnya intensitas politik di Semenanjung Korea yang melibatkan Korea Utara dengan Korea Selatan. Aktivitas latihan militer antara Korea Selatan dengan Amerika Serikat membuat Korea Utara merasa terprovokasi dengan menembakkan beberapa rudal ke arah Korea Selatan.
Tentunya ini membuat situasi geopolitik global semakin rumit dan kusut. Prediksi beberapa kalangan bahwa di 2023 dunia akan dilanda resesi ekonomi bisa jadi lebih dari itu karena akan ada resesi politik yang membuat dunia bukan hanya gelap tapi gawat.
Harapan di Indonesia
Para pemimpin dunia juga bisa berkaca dari kondisi di masa lampau, belajar dari masa lalu bahwa gejala-gejala yang terjadi bisa memicu terjadinya perang yang lebih besar. Tentu ingat terjadinya Perang Dunia I maupun II didahului oleh beberapa peristiwa, terjadinya sebab akibat. Di mana akibat dari Perang Dunia I yang menimbulkan masalah ekonomi di banyak negara menimbulkan kerusakan ekonomi yang begitu besar. Lalu ditambah dengan adanya peristiwa besar yang disebabkan oleh wabah penyakit yang bernama Flu Spanyol di tahun 1918, sebuah virus yang menelan jutaan korban jiwa hingga Peristiwa The Great Deppresion, sebuah masa yang tak pernah terlupakan, karena ekonomi dunia mengalami keterpurukan selama 10 tahun lamanya (1929-1939). Terjadinya inflasi yang sangat tinggi menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah pengangguran, serta menurunnya daya beli masyarakat.
Tentunya kejadian-kejadian ini jangan sampai kembali terulang di masa sekarang, mengingat riak-riak yang terlihat hari ini memiliki potensi ke arah tersebut apabila tidak dapat dimitigasi dengan baik oleh para pemimpin dunia.
Momentum G20 ini sebenarnya menjadi peluang bagi Indonesia sebagai tuan rumah untuk menunjukkan kelasnya sebagai negara yang memiliki potensi sebagai negara yang maju untuk turut andil dalam memperbaiki kondisi dunia hari ini. Jangan sampai kembali porak-poranda.
Tentunya ada harapan bagi dunia saat ini untuk bisa mencegah terjadinya kondisi yang lebih gawat lagi, khususnya kapasitas Indonesia sebagai Presidensi G20 sebagai negara yang cukup stabil setelah pandemi, serta posisi politik jalan tengahnya bisa memiliki peran dalam mendamaikan negara-negara yang sedang berkonflik.
Sikap Presiden Jokowi yang melakukan kunjungan ke Ukraina dan Rusia merupakan langkah yang patut diapresiasi sebagai upaya dalam mendamaikan Moskow dengan Kyiv yang terus berseteru, di saat para pemimpin dunia lainnya hanya sibuk melakukan kecaman tanpa ada tindakan yang konkret.
Kunjungan Presiden Jokowi yang penuh risiko bagi seorang kepala negara menjadi catatan sejarah bagi peradaban manusia, ketika hadirnya seorang pemimpin negara bisa menjadi spirit perdamaian bagi dunia hari ini.
Perlu ada langkah konkret yang perlu dibahas dalam G20 nanti, agar negara-negara yang sedang berkonflik bisa menghentikan perang yang hanya menimbulkan kerugian bagi rakyat yang tak berdosa. Sehingga Forum G20 nanti menjadi harapan besar dan dinanti bagi jutaan masyarakat dunia, dan bukan hanya menjadi ajang seremonial belaka tanpa adanya manfaat besar bagi kondisi global hari ini yang membutuhkan langkah-langkah besar agar bisa lepas dari situasi yang sulit ini.
*) Muhammad Sutisna adalah Co Founder Forum Intelektual Muda
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: G20 di tengah pusaran resesi