Manokwari (ANTARA) - Panggung disiapkan berbentuk persegi panjang dengan lebar hanya setengah meter. Dihiasi sejumlah bunga yang tumbuh subur dan menghijau. Sebuah pengeras suara dan mixer audio serta sebuah poster yang menggambarkan penyair yang mati muda. Lalu sebuah sajak dibacakan.
"Beta ada di malam, ada di siang/irama ganggang dan api membakar pulau. Beta Pattirajawane/yang dijaga datu-datu/cuma satu," ucap Adolf, penggagas Sekolah Anak Budaya (SAB) Manokwari membacakan sepenggal bait puisi karya penyair terkenal Chairil Anwar,
Lirik puisi yang dibacakan Adolf tersebut dipetik dari sajak berjudul 'Cerita Buat Dien Tamaela' menjadi pembuka acara Peringatan Satu Abad Chairil Anwar yang digelar di halaman kedai kopi Jammertime, di Jalan Merdeka Manokwari, Minggu (31/7).
Tampak pula puluhan anak didik Adolf di SAB asyik menyimak sembari menunggu giliran membacakan puisi sendiri maupun milik penyair yang dijuluki 'si binatang jalang' itu.
Adolf menerangkan, dalam satu kesempatan, pernah ada budayawan terkenal dari Maluku yang datang ke Jammertime dan menceriterakan ulang bagaimana Chairil menaksir Dien. Ia ingat satu hal dari cerita itu bahwa Chairil sulit diterima keluarga Dien, karena keluarganya keturunan ningrat sedangkan Chairil hanyalah seorang dari golongan rendah.
"Keluarga Dien mengetahui kalau Chairil sebagai penyair biasa yang hidupnya awut-awutan. Chairil cuma bisa menaklukkan hati Dien Tamaela, tapi tidak dengan orang tuanya. Akhirnya dia membuat puisi itu," ujarnya.
Bagi Adolf, Chairil tetap seorang pejuang di jalannya sendiri. Chairil bukan politisi dan berjarak dengan itu.
Adolf mengatakan Chairil bahkan tidak pernah bersinggungan dengan tokoh nasional yang tumbuh di masa hidupnya. Chairil tidak bisa dibawa atau diajak dalam hal-hal berbau politik.
"Dia murni seorang seniman. Seniman yang hampir-hampir mirip dengan Wiji Thukul. Sejauh yang saya tahu, dia memang orang yang sangat tidak peduli, bahkan dengan hidupnya yang hanya sebentar membuktikan bagaimana keberadaan dia," kata Adolf.
Berawal dari pandemi
Adolf bersama isterinya, Maya membentuk komunitas SAB berawal dari keperihatinan terhadap pendidikan anak di Manokwari, khususnya semenjak pandemi COVID-19 melanda.
Kondisi itu menyebabkan banyak anak menjadi terlantar khususnya dalam mengejar pelajaran sesuai kurikulum. Bahkan, ada anak yang sejak lama tidak bisa membaca tetap tidak bisa melakukannya karena sistem pendidikan yang berjalan semasa pandemi dinilai tidak efektif.
Bahkan Adolf menyebut tidak ada evaluasi atas sistem pendidikan yang dijalankan selama pandemi.
Bersama isterinya, Adolf tergerak untuk membekali anak-anak tentang ilmu pengetahuan yang layak sebagaimana mereka dapatkan di bangku sekolah. Anak-anak diajarkan hal-hal dasar dari membaca dan berhitung dengan model yang lebih santai dan fleksibel dengan belajar langsung dari alam termasuk tentang lingkungan.
Adolf mengaku belum pernah mengenalkan sosok Chairil Anwar, sang pujangga kepada anak asuhnya, meskipun ada metode yang mudah untuk dilakukan yakni dengan mendeskripsikan sang penyair khususnya hal-hal yang baik.
"Karena Chairil Anwar bagaimanapun kita tahu hidupnya seperti apa. Kita kenalkan saja dari sisi kepenyairannya. Anak-anak bisa diajak membaca sajak dan mendengar kisahnya," kata Adolf.
Peringatan kepenyairan Chairil yang dipadukan dengan Hari Puisi Indonesia setiap tanggal 26 Juli di Jammetime, diakui Adolf adalah yang kedua kali berlangsung. Sebelum tahun ini, peringatan Chairil hanya berbentuk bincang-bincang.
Hari puisi ketiga
Heriyadi atau Babe, pengelola Komunitas Rimba Manokwari menyebut peringatan kepenyairan Chairil di Manokwari tahun ini adalah kali ketiga. Sewaktu pertama kali diadakan, ia mengundang tokoh literasi nasional, Maman Suherman (Kang Maman).
Sedangkan saat peringatan kedua, Duta Baca Indonesia sekaligus penyair, Gol A Gong secara khusus datang ke Manokwari.
Babe menyebut Chairil dijadikan contoh penyair untuk dikenal masyarakat di Manokwari, khususnya anak-anak sekolah agar ada kecintaan terhadap sastra, lebih khusus puisi.
"Kita mau membakar semangat anak-anak dari usia dini untuk mencintai puisi. Walaupun banyak tokoh-tokoh lain, tapi salah satu yang besar untuk sastra Indonesia ialah Chairil Anwar. Semangat perjuangannya membuat ia menciptakan banyak puisi yang bisa membakar semangat," ungkap Babe.
Puisi Aku dan Nisan bagi Babe adalah hal yang berkesan. Puisi Nisan misalnya jadi debut Chairil di publik sastra Indonesia pada tahun 1942.
Maria, juga dari Komunitas Rimba Manokwari menyebut Chairil punya kualitas puisi yang merdeka sekaligus berisi tentang harapan.
"Menyangkut harapan, kami berharap pemerintah bisa mendukung kegiatan ini semisal diadakan lagi tahun depan. Dukungannya bisa dalam bentuk apapun baik untuk kegiatan dan juga untuk komunitas literasi yang ada di Manokwari karena selama ini belum ada," jelas Maria.
Maria mengakui kegiatan literasi di Manokwari selalu hidup. Ia mencontohkan mahasiswa Universitas Papua pernah dibantu untuk menyelesaikan tugasnya. Bahkan ia dan komunitasnya sempat diundang ke Jakarta untuk mengisi kegiatan.
Dalam waktu dekat, Maria menyebut akan ada dua buku yang diluncurkan. Satu buku berisi kumpulan puisi yang bertema Asmat yang masih dalam proses perbaikan dan satu buku yang mengambil tema besar tentang Kebudayaan di Kabupaten Pegunungan Arfak. Sebelumnya, telah ada dua buku yang diedarkan berjudul Kawan Antar Sunyi dan Najwa Tanya Papua.
Selain memperingati Chairil dengan pembacaan puisi, musikalisasi puisi, ada juga penampilan tari Yospan, monolog dan pembacaan biodata. Anak-anak yang hadir tidak hanya anggota SAB melainkan juga anggota komunitas literasi lain seperti Komunitas Rimba Manokwari. Hadir pula orang tua dan guru yang sekedar menyimak atau memberikan kontribusi dalam peringatan itu.
Peringatan seabad Chairil Anwar ini ditutup dengan pemberian buku untuk disumbangkan sebagai bacaan demi menghidupkan literasi di Manokwari. Selain buku bacaan umum dan anak, ada juga penyerahan Alquran dan buku fabel-fabel islami.