Komisi I DPR Papua Barat berharap agar pemberian kompensasi pajak penyerapan karbon bagi masyarakat adat harus dikaji secara komprehensif oleh pemerintah daerah setempat yang melibatkan unsur lain seperti akademisi dan NGO pemerhati lingkungan. 

"Jangan hanya akademisi, tetapi semua NGO pegiat lingkungan supaya belanja masalahnya kompleks," kata Ketua Komisi I DPR Papua Barat George Karel Dedaida di Manokwari, Selasa.

Ia menjelaskan bahwa studi kelayakan yang dilakukan secara menyeluruh, wajib menempatkan masyarakat adat di Papua Barat sebagai subyek dari aktivitas penyerapan biomassa karbon dioksida dan gas rumah kaca.

Hasil kajian tersebut ditindaklanjuti dengan perumusan peraturan daerah (perda) tentang skema pembayaran pajak karbon bagi masyarakat adat, sehingga upaya pengurangan emisi karbon berjalan maksimal.

"Hutan berada di wilayah masyarakat hukum adat. Posisi masyarakat harus jadi subyek bukan hanya obyek," tegas George.

Ia menegaskan eksistensi masyarakat hukum adat dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, maka perumusan kebijakan perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan kekhususan.

Pemerintah daerah diharapkan terlebih dahulu melaksanakan pemetaan wilayah adat pada tujuh kabupaten di Papua Barat, supaya kompensasi penyerapan karbon direalisasikan secara proporsional.

"Saya selalu dorong pemerintah daerah lakukan pemetaan wilayah adat, artinya kepemilikan wilayah adat harus clear," jelas George Dedaida.

Ia menilai kompensasi karbon bagi masyarakat adat memberikan jaminan kelestarian hutan hingga masa mendatang yang bermanfaat terhadap penyerapan karbon dioksida dari atmosfer. 

Kompensasi yang dimaksud dalam bentuk rupiah atau program harus dilakukan melalui kesepakatan bersama antara pemerintah dan masyarakat adat, sehingga tidak menimbulkan persoalan kemudian hari.

"Susun perencanaan tanpa adanya kesepakatan dengan masyarakat adat bisa menimbulkan masalah," tutur George Dedaida.

Masyarakat adat secara turun temurun, kata dia, telah memelihara kelestarian hutan melalui tradisi seperti hige sarahanjob di Kabupaten Pegunungan Arfak.

Pemerintah pusat dan daerah sudah semestinya memberikan apresiasi bagi masyarakat adat yang diterjemahkan melalui skema kompensasi pajak penyerapan karbon dioksida.

"Masyarakat adat punya peran sangat penting dalam memberikan jaminan penyerapan karbon," ucap George.

Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat Jimmy E Susanto mengatakan, regulasi pembayaran jasa karbon dikaji bersama Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) setempat.

Pemerintah menargetkan kajian kompensasi karbon rampung tahun 2024 yang memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat adat atas kontribusi melestarikan hutan.

"Selama ini hanya ada jasa hutan kayu, kalau karbon belum ada sehingga dilakukan pengkajian," kata Jimmy Susanto.

Perlu diketahui, setelah Papua Barat dimekarkan menjadi dua provinsi yaitu Papua Barat Daya maka luas hutan yang awalnya 9,7 juta hektare turun menjadi 6,2 juta hektare.

Pengurangan luas kawasan itu menguntungkan dari segi rentang kendali pengawasan terhadap kawasan hutan yang memiliki peran sentral dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
 

Pewarta: Fransiskus Salu Weking

Editor : Evarianus Supar


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2023