Manokwari,(Antaranews Papua Barat)-Pengangkatan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK dinilai bisa menjadi solusi atas persoalan yang dialami para guru honorer sekolah di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

Kepala Badan Kepegawaian Daerah Manokwari Antonius Renyaan, mengatakan, jumlah guru honorer di Manokwari banyak. Jika ada pembukaan formasi penerimaan calon pegawai negeri kuota yang berikan pemerintah pusat tidak cukup untuk mengakomodir seluruh guru honorer.

"Kuotanya sedikit, kue kecil ini tidak cukup untuk dibagi kepada guru honor yang sebanyak ini," kata dia.

Antonius menyebutkan, PPPK bisa mengakomodir guru honorer sekolah usia diatas 35 tahun yang selama ini sudah mengabdi hingga belasan tahun. Ia mengajak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat mengkaji baik dari sisi aturan, teknis pengangkatan maupun kesiapan anggaran.

Ia menjelaskan, pengangkatan PPPK harus dilakukan melalui mekanisme seleksi. Surat Keputusan atau SK diperbarui setiap tahun.

"Kalau dari anggaran sepertinya siap, kota juga harus berkoordinasi dengan Dinas Ketenagakerjaan terkait hak-hak para pegawai," sebutnya lagi.

Jumlah guru honorer di Manokwari mencapai ribuan yang tersebar di seluruh sekolah dari SD hingga SMA. Selama ini mereka menjadi penyelamat bagi sekolah yang mangalami kekurangan guru.

Ratusan, bahkan ribuan anak di Manokwari, menerima manfaat atas jasa mereka. Tak terhitung pengetahuan mengalir dan tercurah melalui lisan para pahlawan tanpa tanda jasa ini.

Mereka pemberantas buta aksara, penghapus ketidaktahuan dan pencetak generasi penerus di daerah tersebut. Namun, jasa mereka seakan jauh dari perhatian para pengambil kebijakan.

Gaji mereka terutama honorer yang diangkat pihak sekolah tidak mencapai 50 persen dari Upah Minimum Provinsi atau UMP Papua Barat saat ini sekitar Rp.2,6 juta. Perbulan gaji mereka rata-rata Rp 300 ribu hingga Rp.1 juta yang diterima tiga bulan sekali.

Tidak sedikit dari mereka menjalankan profesi ganda untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga yang semakin hari terus bertambah dan dan meningkat harganya.

"Ada diantaranya kami jadi tukang ojek, ada yang buruh serabutan di pasar. Kalau ibu-ibu ada yang buka usaha kue dan kerja sebagai karyawan toko," kata Dudi Ramdani, salah satu guru honorer sekolah di daerah tersebut.

Dari ribuan guru honorer di daerah cukup banyak diantara mereka yang diangkat pihak sekolah. Mereka tidak mengantongi surat keputusan atau SK bupati layaknya honorer daerah.

Hal ini berdampak pada jumlah atau besaran gaji yang mereka terima. Guru honorer sekolah memperoleh gaji dari Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang tentunya besaran dana tersebut di setiap sekolah berbeda antara satu dengan yang lain.

"Kami mengajar rata-rata 24 jam dalam seminggu. Sumber gaji satu-satunya adalah dana BOS," kata Dudi.

Dari sekian guru honorer sekolah di daerah ini banyak yang sudah mengajar hingga belasan tahun. Mereka luput dari pengangkatan honorer daerah maupun guru kontrak yang dilaksanakan pemerintah selama ini.

Tidak ada tunjangan apa pun yang mereka peroleh. Bahkan saat sakit mereka harus merogoh uang pribadi untuk berobat karena mereka tidak mendapat jaminan kesehatan dari pihak sekolah apalagi pemerintah daerah.(*)

Pewarta: Toyiban

Editor : Key Tokan A


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2018