Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramanday menyatakan keprihatinannya akibat mandegnya upaya negosiasi guna membebaskan sandera berkebangsaan Selandia Baru, Phillip Mark Mehrtens, yang ditawan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya.
"Kita menyampaikan keprihatinan yang besar karena mandegnya upaya negosiasi hingga kasus penyanderaan berlangsung hingga satu tahun ," kata Frits Ramanday di Jayapura, Rabu.
Menurut dia, bila penyanderaan terus berkelanjutan maka pihak penyandera tidak memiliki agenda yang bisa dikomunikasikan, misalnya ada agenda politik, namun tuntutannya tidak ada yang bisa mengkomunikasikannya.
Walaupun demikian, kata dia, pihaknya berharap Egianus akan segera menyampaikan pernyataan sikap terhadap satu tahun penyanderaan karena memiliki tanggung jawab secara moral untuk mengumumkan ke publik mengenai keberadaan sandera dan agenda apa yang harus dikomunikasikan.
Hal itu dilakukan agar hak individu dari sandera bisa terkomunikasikan dan negara bisa memikirkannya. Negara dalam hal ini bukan saja Indonesia, tetapi juga Selandia Baru dan Susi Air yang menjadi tempatnya bekerja.
Terkait upaya Penjabat Bupati Nduga, Frits mengatakan apa yang dilakukan sudah maksimal karena beliau telah mendatangi wilayah yang menjadi basis KKB dan sudah berbicara beberapa hal dengan pihak Egianus untuk disepakati, namun tidak bisa berjalan baik..
Komnas HAM Papua, kata Frits, saat ini hanya melakukan monitoring melalui mitra-mitranya dan tidak lagi melakukan pemantauan di lapangan karena tidak mendapat dukungan pembiayaan dalam rangka upaya negosiasi, baik dari Pemprov Papua maupun dari Komnas HAM RI.
"Komnas HAM Papua sudah enam bulan terakhir hanya melakukan monitoring dan proaktif melalui mitra, " ujar Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramanday.
Phillip Mark Mehrtens yang berprofesi sebagai pilot Susi Air disandera KKB pimpinan Egianus Kogoya sejak tanggal 7 Februari 2023 sesaat setelah mendaratkan pesawatnya di lapangan terbang Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komnas HAM: Prihatin negosiasi mandeg hingga berlarutnya penyanderaan
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2024
"Kita menyampaikan keprihatinan yang besar karena mandegnya upaya negosiasi hingga kasus penyanderaan berlangsung hingga satu tahun ," kata Frits Ramanday di Jayapura, Rabu.
Menurut dia, bila penyanderaan terus berkelanjutan maka pihak penyandera tidak memiliki agenda yang bisa dikomunikasikan, misalnya ada agenda politik, namun tuntutannya tidak ada yang bisa mengkomunikasikannya.
Walaupun demikian, kata dia, pihaknya berharap Egianus akan segera menyampaikan pernyataan sikap terhadap satu tahun penyanderaan karena memiliki tanggung jawab secara moral untuk mengumumkan ke publik mengenai keberadaan sandera dan agenda apa yang harus dikomunikasikan.
Hal itu dilakukan agar hak individu dari sandera bisa terkomunikasikan dan negara bisa memikirkannya. Negara dalam hal ini bukan saja Indonesia, tetapi juga Selandia Baru dan Susi Air yang menjadi tempatnya bekerja.
Terkait upaya Penjabat Bupati Nduga, Frits mengatakan apa yang dilakukan sudah maksimal karena beliau telah mendatangi wilayah yang menjadi basis KKB dan sudah berbicara beberapa hal dengan pihak Egianus untuk disepakati, namun tidak bisa berjalan baik..
Komnas HAM Papua, kata Frits, saat ini hanya melakukan monitoring melalui mitra-mitranya dan tidak lagi melakukan pemantauan di lapangan karena tidak mendapat dukungan pembiayaan dalam rangka upaya negosiasi, baik dari Pemprov Papua maupun dari Komnas HAM RI.
"Komnas HAM Papua sudah enam bulan terakhir hanya melakukan monitoring dan proaktif melalui mitra, " ujar Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits Ramanday.
Phillip Mark Mehrtens yang berprofesi sebagai pilot Susi Air disandera KKB pimpinan Egianus Kogoya sejak tanggal 7 Februari 2023 sesaat setelah mendaratkan pesawatnya di lapangan terbang Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Komnas HAM: Prihatin negosiasi mandeg hingga berlarutnya penyanderaan
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2024