Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) membuat program kolaborasi bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Wahana Visi Indonesia (WVI) untuk mendorong kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat yang berbasis Gender, disabilitas, dan inklusi sosial (Gedsi).
“Yang kita lakukan di pemerintah daerah itu bagaimana mereka diberi pelatihan terkait perencanaan dan penganggaran otonomi khusus. Kita dukung pemerintah dan masyarakat, tetapi apapun yang kita lakukan itu harus melibatkan kaum rentan juga, seperti perempuan, penyandang difabel. Jadi pelatihan ASN dan peningkatan kualitas masyarakat kita harus libatkan ini (Gedsi),” kata Direktur Proyek USAID kolaborasi Caroline Tupamahu di Kota Jayapura, Papua, Senin.
Proyek kolaborasi ini diselenggarakan dalam rangka membekali para Aparatur Sipil Negara (ASN) agar siap menghadapi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat yang mampu melibatkan masyarakat perempuan, disabilitas, dan kelompok rentan lain dalam perencanaan anggaran.
Ia menegaskan, pembangunan otonomi khusus ini tidak hanya untuk masyarakat yang normal secara fisik dan kaum laki-laki saja, karena bagaimana pun, pembangunan ini harus melibatkan seluruh masyarakat Papua.
"Inilah mengapa teman teman ini kita libatkan, dan kita kerja sama untuk merumuskan, bagaimana mempertemukan mereka (masyarakat dan pemerintah), sehingga apa yang mereka sudah lakukan, kita bisa jembatani," lanjut Caroline.
Adapun sumber dana yang didapatkan, yakni dari USAID sebesar 10 juta dollar AS, dimana dana tersebut akan digunakan untuk pelatihan dan program-program yang berkolaborasi bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk meningkatkan mutu dan kualitas ASN serta pelayanan publik.
"Hasil USAID kolaborasi yang diharapkan nantinya itu mempertemukan komunitas dengan pemerintah daerah agar program-program ini dirancang di Rencana Anggaran Daerah (RAD)," ucap dia.
Ia melanjutkan, apabila pemerintah sudah dikuatkan, maka mereka dapat lebih responsif dan masyarakat aktif untuk menyuarakan pendapatnya, sehingga pembangunan bisa lebih tepat sasaran, utamanya program-program yang terkait otonomi khusus.
Adapun konsorsium tentang otonomi khusus ini tidak langsung terbentuk, tetapi juga melalui tahap diskusi, dan rancangan penelitian, yang memperjuangkan bagaimana agar masyarakat rentan seperti perempuan dan teman-teman disabilitas bisa dilibatkan ketika menyusun rencana anggaran daerah.
"Jadi kita kuatkan bagaimana secara organisasi para komunitas yang memperjuangkan hak-hak teman-teman difabel ini bisa kuat, dan pemenuhan hak-haknya terakomodir dalam program-program perencanaan dan penganggaran, sehingga mereka bisa mengekspresikan apa yang dibutuhkan mereka, karena selama ini belum ada yang melibatkan mereka sebagai subjek, tutur Caroline.
“Yang kita lakukan di pemerintah daerah itu bagaimana mereka diberi pelatihan terkait perencanaan dan penganggaran otonomi khusus. Kita dukung pemerintah dan masyarakat, tetapi apapun yang kita lakukan itu harus melibatkan kaum rentan juga, seperti perempuan, penyandang difabel. Jadi pelatihan ASN dan peningkatan kualitas masyarakat kita harus libatkan ini (Gedsi),” kata Direktur Proyek USAID kolaborasi Caroline Tupamahu di Kota Jayapura, Papua, Senin.
Proyek kolaborasi ini diselenggarakan dalam rangka membekali para Aparatur Sipil Negara (ASN) agar siap menghadapi kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat yang mampu melibatkan masyarakat perempuan, disabilitas, dan kelompok rentan lain dalam perencanaan anggaran.
Ia menegaskan, pembangunan otonomi khusus ini tidak hanya untuk masyarakat yang normal secara fisik dan kaum laki-laki saja, karena bagaimana pun, pembangunan ini harus melibatkan seluruh masyarakat Papua.
"Inilah mengapa teman teman ini kita libatkan, dan kita kerja sama untuk merumuskan, bagaimana mempertemukan mereka (masyarakat dan pemerintah), sehingga apa yang mereka sudah lakukan, kita bisa jembatani," lanjut Caroline.
Adapun sumber dana yang didapatkan, yakni dari USAID sebesar 10 juta dollar AS, dimana dana tersebut akan digunakan untuk pelatihan dan program-program yang berkolaborasi bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk meningkatkan mutu dan kualitas ASN serta pelayanan publik.
"Hasil USAID kolaborasi yang diharapkan nantinya itu mempertemukan komunitas dengan pemerintah daerah agar program-program ini dirancang di Rencana Anggaran Daerah (RAD)," ucap dia.
Ia melanjutkan, apabila pemerintah sudah dikuatkan, maka mereka dapat lebih responsif dan masyarakat aktif untuk menyuarakan pendapatnya, sehingga pembangunan bisa lebih tepat sasaran, utamanya program-program yang terkait otonomi khusus.
Adapun konsorsium tentang otonomi khusus ini tidak langsung terbentuk, tetapi juga melalui tahap diskusi, dan rancangan penelitian, yang memperjuangkan bagaimana agar masyarakat rentan seperti perempuan dan teman-teman disabilitas bisa dilibatkan ketika menyusun rencana anggaran daerah.
"Jadi kita kuatkan bagaimana secara organisasi para komunitas yang memperjuangkan hak-hak teman-teman difabel ini bisa kuat, dan pemenuhan hak-haknya terakomodir dalam program-program perencanaan dan penganggaran, sehingga mereka bisa mengekspresikan apa yang dibutuhkan mereka, karena selama ini belum ada yang melibatkan mereka sebagai subjek, tutur Caroline.
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2023