Kelingking ungu celupan tinta kembali menghiasi Tanah Air meski tak semeriah sembilan bulan lalu, tepatnya, pada 14 Februari 2024, ketika pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif berlangsung.
Rasa-rasanya baru kemarin euforia pemilihan presiden surut yang ditandai dengan dilantiknya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Kini, jagat Indonesia kembali diramaikan dengan pemilihan kepala daerah.
Seolah-olah tidak ada waktu untuk melakukan evaluasi dan perbaikan bagi penyelenggara pemilihan umum (pemilu), utamanya Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI).
Penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional dan daerah yang berdekatan ini tidak pula memberi jeda bagi publik untuk bernapas dan mencerna berbagai informasi baru yang dijejali oleh para politisi ketika berkampanye.
Dalam kurun waktu satu tahun, warga negara Indonesia dibanjiri informasi mengenai visi dan misi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Masyarakat dibanjiri pula oleh visi dan misi, bahkan nama-nama baru para calon anggota legislatif yang terdiri atas DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Banjir informasi tidak hanya datang dari peserta pemilihan umum. Kerumitan perpolitikan Indonesia hingga lika-liku aturan kepemiluan yang bolak-balik diujikan ke Mahkamah Konstitusi juga membanjiri pemberitaan dan media sosial.
Setelah menelan berbagai informasi tersebut dan mencoblos lima surat suara pada 14 Februari 2024, selanjutnya masyarakat kembali disambut dengan rangkaian pemilihan kepala daerah (pilkada).
Kini, setelah penyelenggaraan Pilkada 2024 mencapai klimaksnya, yang bisa dilakukan oleh masyarakat selama lima tahun adalah menuntut janji dan mengawal program-program dari pemimpin terpilih guna memastikan 'para pemenang' bekerja dalam koridor hukum yang semestinya.
Efektivitas penyelenggaraan pemilihan umum yang bertubi-tubi dalam jarak berdekatan telah menuai perhatian dari para pemerhati pemilu, termasuk bagaimana Pemilu 2024 memengaruhi Pilkada 2024.
Pelaksanaan Pilkada 2024
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin, Pilkada 2024 yang dilaksanakan secara serentak berlangsung dengan lancar, setidaknya, secara umum.
Afif tak menyangkal bahwa di beberapa daerah terdapat kendala yang mengakibatkan KPU harus mengagendakan pemungutan suara ulang, pemungutan suara susulan, hingga pemungutan suara lanjutan. Salah satu daerah yang harus melakukan pemungutan suara susulan adalah Sumatera Utara.
Berdasarkan data sementara KPU per Rabu (27/11), Sumatera Utara harus melakukan pemungutan suara susulan setidaknya di 110 tempat pemungutan suara (TPS), menjadikan Sumut tersebut sebagai provinsi yang paling banyak melakukan pemungutan suara susulan.
Meskipun demikian, euforia tak lantas padam. Lembaga survei yang menayangkan hasil hitung cepat atau quick count pun menjadi pusat perhatian sejak pemungutan suara berakhir, terutama di daerah-daerah dengan pertarungan yang dianggap sengit, seperti Jakarta dan Jawa Tengah.
Kedua daerah tersebut secara jelas menampakkan pengaruh Pemilu 2024 terhadap Pilkada 2024. Terdapat residu politik yang ditandai dengan kehadiran Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang diinisiasi oleh Prabowo Subianto, melawan PDI Perjuangan.
KIM Plus terdiri atas sembilan partai politik anggota KIM dan beberapa parpol di luar koalisi tersebut. Anggota asli KIM adalah Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda), dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).
Koalisi ini bertarung melawan Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Amin) dan Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Memasuki Pilkada 2024, anggota dari koalisi tersebut lantas bertambah dengan bergabungnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai NasDem. Penambahan koalisi itu disebut dengan KIM Plus.
KIM Plus menuai sorotan pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini. Kehadiran KIM Plus di Pilkada 2024 merupakan wujud dari komitmen para elit partai untuk menduplikasi KIM pada Pemilu 2024.
Konfigurasi koalisi partai untuk pencalonan kepala daerah tersebut sempat menjadi ancaman bagi kontestasi Pilkada 2024.
Seandainya saja Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 tidak menurunkan ambang batas partai politik pengusul pasangan calon kepala daerah, sebanyak 154 daerah berpotensi hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah atau calon tunggal.
Pertarungan antara KIM Plus dengan PDI Perjuangan di Pilkada 2024 mengamplifikasi tensi dan atensi publik.
Akan tetapi, residu politik bukanlah satu-satunya pertimbangan mengapa pemilihan umum di tingkat nasional dan daerah sebaiknya diberikan jeda selama dua tahun.
Jeda dua tahun
Titi Anggraini secara aktif mendorong untuk membagi keserentakan pemilihan menjadi dua kategori, yakni keserentakan pemilihan nasional dan keserentakan pemilihan daerah.
Pada tingkat nasional, pemilu diselenggarakan untuk memilih DPR, DPD, dan presiden. Sedangkan, pada tingkat daerah, pemilu diselenggarakan untuk memilih DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah.
Titi juga menyarankan agar kedua pemilihan tersebut diberi jarak selama dua tahun. Menggelar pemilu di tingkat nasional dan daerah pada satu tahun yang sama menjadikan pemilihan di Indonesia sebagai pemilihan yang paling kompleks.
Perhatian masyarakat akan terpecah dengan banyaknya peserta pemilu. Pada akhirnya, yang menyedot atensi publik adalah pemilihan presiden, sedangkan pemilihan anggota legislatif cenderung luput dari perhatian.
Salah satu cara yang kemudian ditempuh oleh para anggota legislatif untuk merebut perhatian masyarakat adalah melalui politik uang.
Berangkat dari dampak pemilu ‘borongan’ terhadap integritas suara pemilih serta profesionalitas penyelenggara pemilu, Titi mengusulkan perubahan desain pemilu.
Perubahan tersebut memungkinkan untuk terjadi melalui penggabungan dan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota, menimbang tidak ada lagi pemisahan antara pemilu dan pilkada setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
Dengan memisahkan pemilu tingkat nasional dan tingkat daerah, serta memberikan jeda antarpemilu selama dua tahun, mesin partai politik akan selalu bekerja untuk menghasilkan kader-kader terbaiknya.
Indonesia memiliki kesempatan untuk memiliki partai politik yang betul-betul mampu mencetak politisi berkualitas dan kompetitif.
Selain itu, pemberian jarak selama dua tahun juga memberikan masyarakat ruang untuk mengevaluasi pilihannya.
Ketika anggota legislatif dan eksekutif di tingkat nasional mulai menunjukkan ketidaksesuaian dengan keinginan publik, maka mereka dapat menyesuaikan pilihannya pada pemilihan di tingkat daerah.
Jeda dapat membantu seseorang menjadi lebih tenang dan rileks dalam menyikapi sesuatu.
Jeda juga dapat memberi ruang untuk refleksi, evaluasi, dan melakukan koreksi, termasuk dalam hal penyelenggaraan pemilu.
Oleh karena itu, pemberian jeda selama dua tahun antara pemilu nasional dan daerah layak menjadi pertimbangan para pembuat kebijakan.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Mempertimbangkan jeda dua tahun antara pemilu nasional dan daerah
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2024