Wasior (ANTARA) - Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat tidak hanya memiliki keunikan seni budaya dalam rupa tari-tarian, ukiran, busana adat juga kesenian khas lainnya. Sebagai kabupaten bahari, daerah tersebut rupanya menyimpan keunikan lain seperti tradisi mendayung perahu.

Perahu menjadi elemen penting bagi masyarakat Kabupaten Teluk Wondama yang sebagian besar wilayahnya merupakan lautan. Tidak sekedar sebagai alat transportasi, perahu juga menjadi sumber kehidupan bagi orang Wondama.

Sebagaimana yang ditampakan dalam lomba hias perahu adat pada hari kedua Festival Wondama, Selasa (5/12) di Wasior. Dalam lomba tersebut ditampilkan jenis perahu adat yang biasa dipakai orang Wondama tempo dulu.

Setidaknya ada dua jenis perahu adat yang menjadi ciri khas Wandamen, sebutan bagi orang asli Wondama. Yakni perahu dagang dan perahu perang. Keduanya memiliki perbedaan yang khas mulai dari bentuk fisik, ornamen pendukung hingga perlengkapan yang dipakai manusia yang ada dalam perahu.

Perahu dagang memiliki ciri khas berupa badan perahu yang panjang dan lebar dilengkapi rumah-rumahan dengan dinding dan atap dari daun sagu. Perahu jenis ini umumnya berwarna polos sesuai warna kayu dan tidak dilengkapi ornamen warna-warni.

Ciri khas lainnya adalah adanya pelepah daun sagu atau dalam bahasa lokal disebut gabah-gabah yang disusun melintang secara berurutan menutupi dinding perahu. Gabah-gabah ini berfungsi untuk membuat dinding perahu lebih tinggi sehingga tidak mudah dimasuki ombak.

Menurut Jhon F. Mambor, seniman senior Wondama yang juga selaku ketua dewan juri, pada jaman dulu orang Wondama menggunakan perahu dagang untuk berdagang hasil bumi dari kampung ke kampung.

"Melalui perahu itu mereka melakukan barteran. Hasil yang mereka dapat mereka tukar dengan ikan atau ikan mereka tukar dengan sagu," jelas Mambor.

Perahu dagang juga unik, di dalam perahu dagang tidak hanya manusia tetapi juga ada hewan piaraan yakni anjing.

"Anjing itu tidak bisa lepas, itu identik dengan orang Papua. Kemana mereka pergi anjing itu ikut karena pada suatu ketika mereka turun ke darat mereka pakai untuk berburu," katanya lagi

Adapula tungku dari kayu dan dua batang bambu yang ditempatkan horizontal di bagian belakang. Bambu tersebut menjadi tempat menyimpan cadangan air bersih. Ini menjadi perlengkapan wajib karena perahu tersebut sekaligus berfungsi sebagai rumah bagi pemiliknya.

"Jadi perahu dagang ini punya banyak makna, bisa sekaligus rumah juga bisa untuk berdagang sistim barteran karena dulu orang belum kenal uang," jelas dia.

Sementara perahu perang memiliki ciri khusus yakni penuh dengan ornamen dan ukiran warna warni. Pada bagian tertentu juga dipasang asesoris perang seperti parang dan tombak.

Perahu ini berisi pasukan bersenjata parang dan panah dalam kondisi siap tempur. Biasanya dilengkapi pula dengan tambur yang dibunyikan terus menerus untuk membakar semangat.

Menurut Mambor perahu perang dipergunakan pada era perang suku.
Dua jenis perahu itu sekarang ini sudah tidak ada.

"Makanya dengan adanya festival ini kami sengaja untuk angkat kembali supaya memotivasi generasi muda yang sudah lupa akan budaya orang wondama ini supaya kalau bisa dikembangkan lagi,"ucap seniman serba bisa ini.

Kepala Distrik Wasior Antonius Alex Marani mengatakan pihaknya sengaja menampilkan perahu dagang dengan tujuan mengangkat kembali tradisi asli Wondama yang sudah terlupakan.

"Yang kita tampilkan ini merupakan budaya asli orang Wondama. Dulu nenek moyang orang Wondama gunakan perahu ini untuk berdagang kemana-mana tapi sekarang sudah tidak ditemukan lagi," kata Alex.

Sayangnya, peserta yang ikut ambil bagian dalam lomba perahu hias hanya sedikit. Dari 13 distrik yang ada hanya Distrik Wasior, Roon dan Kuri Wamesa yang berpartipasi.

Tradisi ini perlu dilestarikan karena sekarang sudah hilang sama sekali. Jadi ini yang perlu diangkat. Jadi harapan kami untuk tahun depan lebih banyak peserta untuk motivasi generasi muda bisa lestarikan, tutup Jhon Mambor. (****)

Pewarta: Zack Tonu B

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2017