Teater Koma mempersembahkan pertunjukan lakon terbaru produksi ke-230 dari penulis Norbertus Riantiarno (alm), berjudul “Matahari Papua” yang menghadirkan kisah perlawanan seorang anak manusia bernama Biwar terhadap sang naga penguasa.
Saat pertunjukan perdananya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Kamis (6/6) malam, lakon “Matahari Papua” yang disutradarai oleh Rangga Riantiarno bersama Nino Bukir itu mengisahkan seorang pemuda bernama Biwar (Lutfi Ardiansyah) dan diasuh oleh ibunya Yakomina (Netta Kusumah Dewi) sejak kecil. Mereka tinggal di wilayah Kamoro, Papua, dan jauh dari hiruk pikuk permukiman warga.
Cerita dimulai saat Biwar pamit kepada ibunya untuk mencari ikan di pinggir sungai. Saat sedang mencari ikan, Biwar dikejutkan oleh teriakan dua gadis yang diserang oleh tiga ekor biawak, anak buah sang naga penguasa.
Tanpa berlama-lama, Biwar membantu kedua gadis itu dan berhasil mengalahkan tiga biawak yang menyerang mereka. Dari sini, benih-benih cinta mulai muncul, saat Biwar berhasil menyelamatkan dua gadis tersebut, salah satunya bernama Nadiva (Tuti Hartati).
Di tengah gelora cinta yang mulai tumbuh di hati Biwar, sebuah kenyataan pahit pun terkuak bahwa sang ayah mati karena dibunuh sang naga penguasa. Dari sini, Biwar bertekad untuk membalas kematian ayahnya dan membunuh sang naga agar tanah Papua kembali tentram.
Akankah pembalasan dendam Biwar kepada sang naga berhasil dilakukan?
Kritik sosial
Selama 47 tahun, Teater Koma berhasil memproduksi ragam lakon yang sebagian besar mengangkat isu sosial dan politik yang terjadi di Indonesia. Tidak terkecuali lakon “Matahari Papua” yang ikut "menyenggol" kelompok yang mengeruk sumber daya alam di tanah Papua, tanpa memikirkan nasib masyarakat di daerah itu.
Selama kurang lebih 2.5 jam, penonton disuguhi dialog-dialog satir yang membuat termenung karena cukup sesuai dengan kondisi di Indonesia saat ini.
Dengan cerdas, mendiang Norbertus Riantiarno meramu dialog dalam “Matahari Papua” agar tidak terkesan menjatuhkan sistem pemerintahan, tetapi tetap dimengerti oleh penonton.
Misalnya, simbol naga yang dianalogikan sebagai penguasa, atau negara barat yang dianalogikan sebagai bangsa penjajah. Tidak sampai di situ, ada beberapa dialog satir yang dilontarkan para pemain dan cukup tajam dalam mengkritik kondisi politik-sosial di Indonesia, saat ini, khususnya di tanah Papua.
Menariknya, momen pementasan lakon “Matahari Papua” cukup sesuai dengan banyaknya ketidakadilan yang terjadi di dunia.
Melalui pementasan lakon ini, diharapkan masyarakat dapat ikut menyuarakan ketidakadilan tersebut dan mendukung pihak-pihak yang sudah seharusnya mendapat keadilan.
Akting mengesankan
Sepak terjang Teater Koma di kancah dunia seni dan pementasan teater Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi.
Pengalaman dan kecakapan para pemain berpadu dengan baik dalam mementaskan lakon “Matahari Papua”, ditambah kualitas naskah yang baik dan solidnya tim produksi berhasil membuat lakon ini menjadi istimewa.
Mulai dari pemeran utama, pemeran pendukung, tim musik, sutradara, hingga tim pendukung lainnya, berhasil membuat “Matahari Papua” layak diapresiasi.
Menariknya, naskah “Matahari Papua” berhasil terpilih sebagai salah satu pemenang untuk Sayembara Penulisan Naskah Dewan Kesenian Jakarta 2022. Tidak heran naskah dalam lakon ini juga sangat mempengaruhi jalinan istimewa di dalamnya.
Selain tokoh Biwar, Yokomina, dan Nadiva yang berhasil memperkuat lakon “Matahari Papua”, ada dua tokoh pencuri perhatian (steal the show) yang berhasil membuat lakon ini semakin berwarna. Dua tokoh tersebut adalah Sir Ilham Jambak sebagai buaya dan Sri Qadariatin sebagai burung hitam.
Di tengah perlawanan Biwar dan sang naga yang cukup panas, kedua tokoh tersebut berhasil mencairkan suasana dengan sangat baik. Celetukan dan tingkah ajaib antara buaya dan burung hitam berhasil mengocok perut penonton.
Tanpa mengesampingkan tokoh dan tim produksi lainnya, lakon “Matahari Papua” semakin menarik saat tokoh buaya dan burung hitam itu tampil. Meskipun terkesan serius, “Matahari Papua” berhasil menyeimbangkan nuansa komedi dan drama di dalamnya.
Meskipun untuk ukuran lakon “Matahari Papua” cukup panjang, tetapi penonton kemungkinan besar tidak akan bosan. Akting gemilang para pemain berhasil menghipnotis penonton untuk terus menyaksikan penampilan mereka, hingga akhir, sehingga 2.5 jam, mungkin tidak akan terasa terlalu lama.
Kostum memikat
Selain akting para pemain yang memukau, penonton juga akan dimanjakan dengan detail kostum dan properti latar yang detail serta indah, mulai dari penggambaran suku di Papua yang sangat mirip dengan aslinya, ditambah properti latar sebagai penunjang cerita yang dibuat sangat mirip dengan aslinya.
Pergantian latar cerita dengan properti berbeda pun dilakukan sangat mulus dan lancar, misalnya latar hutan yang dilanjutkan dengan adegan di dusun, tanpa ada kendala berarti.
Jika penonton membawa anak kecil, kemungkinan besar mereka juga dapat menikmati pertunjukan “Matahari Papua” dengan baik karena pergantian latar cerita akan menarik perhatian mereka. Selain itu, unsur tarian dan nyanyian yang ditampilkan para pemain juga akan menghibur para penonton, termasuk anak-anak.
Jangan lewatkan untuk menyaksikan pertunjukan lakon “Matahari Papua” di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada 7 - 9 Juni 2024. Untuk pemesanan tiket pertunjukan, kunjungi laman situs resmi mereka di www.teaterkoma.org atau menghubungi kontak mereka di 0217359540 dan 0821122777709.
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2024