Ada yang menarik dari acara pembukaan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) di Jayapura, Papua pada Rabu (24/8). Tarian Pangkur Sagu menjadi tari penyambutan. Tarian yang dibawakan laki-laki dan wanita itu tampak harmonis,  enerjik dan kompak.

Delapan penari, empat laki-laki dan empat perempuan, menaiki panggung. Penari wanita mengenakan bawahan dan atasan, sementara penari laki-laki bertelanjang dada.

Baju bawahan laki-laki dan perempuan berupa rumbai yang terbuat dari daun sagu. Baju atasan perempuan juga mirip dengan kemben rumbai yang terbuat dari daun sagu.

Wajah hingga bagian badan dilukis motif bertinta putih. Ada mahkota seperti ksatria yang menutupi kepala mereka, dan laki-laki membawa kapak untuk mencacah sagu.

Tampilan kontras ini di Gelanggang Olah Raga (GOR) Cenderawasih membuat daya tarik bagi siapa saja yang melihat.

Para penari yang merupakan siswa Sanggar Seni Papua Melanesia itu menari dengan sangat energik. Gerakan para penari itu menggambarkan sukacita warga yang mendiami wilayah Papua saat musim panen sagu tiba.

Penari laki-laki berjongkok, tangannya kokoh menggenggam kapak, mengayunkannya dengan mantap, dan menghujam batang sagu tak tampak, seakan pohon itu berukuran serangkulan orang dewasa.

Sagu merupakan bahan baku makanan pokok asli Papua  yaitu papeda. Seiring berkembangnya teknologi dan kencangnya modernisasi, eksistensi pohon sagu semakin terganggu. Akibatnya, papeda pun menjadi tidak mudah didapat.

Tapi kaum laki-laki adat, dalam tarian tersebut menggambarkan keberhasilannya mencari pohon sagu di pedalaman hutan.  Ketika bertemu pohon sagu, betapa bahagianya masyarakat adat Suku Sentani Papua itu.

Tari Pangkur Sagu merupakan tarian yang menggambarkan kegiatan masyarakat Papua ketika bersiap melakukan panen sagu. Tarian ini secara simbolik menggambarkan ritual pesta yang diadakan masyarakat Papua pada saat membuat sagu. Gotong royong, kebersamaan, serta rasa syukur adalah nilai yang ingin ditampilkan dalam tarian ini.

Pesan Lingkungan

Sagu yang dulu bukanlah yang sekarang. Dulu bisa tumbuh di mana-mana, sekarang mesti mencari hingga ke jurang. Karena memang pohon sagu tumbuh baik pada daerah rawa air tawar, rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan- hutan rawa.

Para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang mengolah sagu untuk menghasilkan produk kreatif pun harus mencari lebih serius untuk mendapatkannya. Contohnya, Eunike Yunita, pemilik produk Biskuit Saguku asal Cigombong, Kotaraja, Jayapura, yang terkadang mengalami kendala pasokan bahan baku, karena tidak ada penanaman kembali pohon sagu setelah habis digunakan.

Persoalan lahan sagu yang banyak beralih fungsi menjadi pemukiman juga pernah diungkapkan Mantan Gubernur Irian Jaya Freddy Numberi. Sagu Papua kini bagaikan hadiah yang diberikan oleh Tuhan, karena banyak tanaman sagu yang tumbuh meskipun tanpa ditanam.

Fenomena ini diangkat melalui berbagai gerakan dan lengkingan para penari tarian Pangkur Sagu tersebut saat pertunjukan di Gernas BBI.

Ada fase ketika semua penari laki-laki tiba-tiba merebahkan diri ke lantai panggung, kelelahan. Dan para penari perempuan masih berdiri melihatinya dan berteriak melengking, amat pilu. Ini menggambarkan perjuangan mencari sagu tidak mudah, kecuali jika ditempuh dengan kerja keras.

Setelah itu, musik berubah suasananya menjadi ceria. Para penari tampak menari dengan sukacita. Sagu yang sudah dicacah dengan kapak oleh laki-laki, diberikan kepada kaum perempuan untuk menyaring pati dari serbuk sagu di air, menggunakan alat sederhana yang biasanya terbuat dari pelepah dan daun sagu.

Pati sagu terkumpul perlahan hingga membutuhkan waktu dua jam untuk menunggu hingga seluruh pati Sagu mengendap di dasar dan terpisah dari air.

Para penari kembali menari dengan sukacita, karena ada sagu untuk makanan pokok seisi rumah dari pati sagu yang nanti bisa dibuat menjadi papeda.

Tari Pangkur Sagu ini dibuat agar semua warga Papua mengingat bahwa tradisi memangkur atau budi daya sagu tidak boleh hilang dari peradaban masyarakat adat. Melalui tarian inilah pesan lingkungan diharapkan juga sampai kepada dunia bahwa semua pasti ingin menjaga iklim Papua tetap asri.

Pembangunan yang dijalankan pemerintah semakin hari semakin baik. Papua tidak boleh berpisah dari alamnya yang indah. Saat ini sekeliling Papua masih terbentang hutan yang luas. Untuk itu, segala pembalakan liar dan pembukaan lahan ilegal harus dihentikan.

Tarian Pangkur Sagu memuat pesan  kepada semua suku-suku yang ada di tanah Papua, agar terus bersatu dan menjaga kekayaan alamnya.

Manfaat sagu

Hasil observasi Unit Percepatan Pengembangan Papua dan Papua Barat (UP4B) pada 2014 mengungkap luas lahan sagu di Papua dan Papua Barat mencapai 5,2 juta hektare, tapi 2,1 juta hektare sudah diizinkan untuk alih fungsi.

Sagu adalah tanaman yang dari ujung daun sampai ujung akar, semuanya memberikan manfaat kepada manusia. Pati sagu bukan hanya untuk dimakan, tapi juga bisa diolah menjadi bioetanol dan etanol untuk pengganti bensin. 

Kawasan sagu juga akan selalu hijau sehingga dapat juga berfungsi sebagai paru-paru dunia karena menyerap karbondioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (O2).

Pembudidayaan pohon sagu juga dapat dilakukan bersamaan dengan budi daya perikanan karena sagu selalu hidup berdampingan dengan air. Akar pohon sagu yang mampu menyerap racun kerap menjadi habitat asli ikan Gabus Danau Sentani atau masyarakat sekitar menyebutnya Khahabei ( Oxyeleotris heterodon).

Ikan Gabus asli Danau Sentani atau Khahabei mempunyai protein yang sangat tinggi dan penting bagi ibu-ibu yang hamil dan juga bagi mereka setelah melahirkan. Peran ikan gabus ini sangat penting bagi kesehatan dan juga punya nilai ekonomi, budaya dan kesehatan.

Khahabei mempunyai habitat khusus di Danau Sentani yang ada pohon sagunya. Seperti Cenderawasih yang juga harus hidup di habitat khusus. Tapi karena akar pohon sagu yang hidup semakin sedikit, ikan ini menjadi sulit dicari. Itu faktanya. Maka dari itu, keberadaan pohon sagu juga mendukung budi daya ikan gabus ini.

Reboisasi pohon sagu menjadi penting, meski  waktu pertumbuhan pohon sagu itu tahunan. Tapi ketika sudah tumbuh, pohon sagu mampu mendukung ekosistem di sekitarnya, baik hewan sampai manusia membutuhkan sagu. 

Tarian Pangkur Sagu memang sarat makna, tidak hanya mengandung pesan terkait dengan pelestarian sagu, tapi juga pesan pelestarian lingkungan pada umumnya. Pohon sagu tidak hanya  memberikan manfaat secara eksosistem, tapi juga secara sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.


Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tari Pangkur Sagu, tari penyambutan yang sarat dengan pesan lingkungan

Pewarta: Abdu Faisal

Editor : Evarianus Supar


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2022