Pedagang pasar gelap terus berpesta pora dari keuntungan selangit memperdagangkan berbagai jenis minuman keras (Miras). Meskipun ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor:  5/2006 tentang larangan memasukan, menyimpan, mengedarkan, menjual dan memproduksi minuman beralkohol  yang bikin mabuk, tetapi mudah kita temui orang mabuk di ruang publik, melakukan tindak kejahatan dalam pengaruh alkohol. 

Jual beli miraspun tak lagi secara tertutup. Banyak tempat menjualnya secara setengah terbuka. Barang memang tidak dipajang sebagaimana layaknya menjual barang/komoditas lain.  Tetapi, mudah mendapatkannya. 
Mereka yang beli pun dari anak-anak hingga orang dewasa, laki-laki maupun perempuan.

Dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memiliki Perda larangan miras, harga satu botol vodka sekitar Rp50.000. Di Manokwari minuman berkadar alcohol di atas 20 persen itu dijual dengan harga termurah Rp120.000 per botol atau hampir dua setengah kali lipat. Pertanyaan besar yang sering muncul ke pelataran sosial adalah, di manakah aparat penegak hukum ? Apakah Polisi Pamong Pradja (Pol PP) yang bertugas menegakkan Perda atau polisi di garis depan penegakkan hukum tidak tahu menahu soal peredaran Miras di pasar gelap ini ?.  

Pesta pora pedagang pasar gelap dari keuntungan memperdagangkan Miras adalah juga pesta pora di atas duka lara, darah dan airmata banyak orang, yang menjadi korban tindak pidana akibat pengaruh alkohol. Ada orang-orang terkasih di sekitar kita, apakah sebagai suami, isteri, teman, atau saudara. Mereka dengan amat terpaksa harus menerima kenyataan menjadi janda, anak yatim, piatu dan kemudian harus melarat sepanjang hidup, karena tulang  punggung keluarga menjadi korban tindak kejahatan, atau bahkan menjadi pelaku kejahatan dan harus mendekam di balik jeruji besi dalam waktu yang relatif lama. 

Dalam hal tertib berlalu-lintas, berapa banyak yang mengemudikan kendaraan bermotor dalam kondisi mabuk miras berujung celaka atas diri juga mencelakai orang lain. Berapa banyak duit yang harus dikeluarkan untuk perawatan dan pengorbanan atas produktivitas selama hidup. Apalagi, bagi mereka yang mengalami cacat tetap. Demikian pula soal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Banyak kasus mencuat dan menjadi perhatian para aktivis gender. 
Lantas, apa untungnya daerah ini punya Perda Miras?. 

Apakah ia sekadar sebuah kerangka nilai yang berlaku di tingkat lokal guna membingkai perilaku warganya agar tidak mengonsumsi  miras?. Ah, kalau hanya itu, rasanya absurd sekali ikhtiar untuk membuat Perda. Karena, dalam kenyataan ia hanya indah, lagi-lagi di atas kertas. Untuk apa, para anggota DPRD Kabupaten Manokwari yang terhormat harus repot-repot membuat draf, mungkin juga dengan studi banding, membahasnya berkali-kali, melakukan sosialisasi sampai akhirnya menjadi sebuah Perda.  

Seluruh proses yang dilalui untuk menghasilkan Perda Miras, memakan waktu, energi dan biaya, untuk kemudian tidak banyak membawa manfaat bagi warga?. Karena itu, banyak pihak menyebut Perda Miras sebagai Macan Kertas yang indah dan garang di atas kertas. Implementasinya nyaris di tak banyak membawa kemaslahatan bersama. Haruskah situasi ini dibiarkan terus berlangsung ataukah ada pihak yang tampil di garis depan, menyatakan perang melawan miras, sebelum jatuh korban lebih banyak, sebelum kehidupan bersama terusik lebih serius. 

Sejatinya, sejak lama suara protes muncul dan belakangan kian mencuat menyusul beberapa kasus yang menghebohkan Manokwari antara lain disebabkan baik secara langsung maupun tidak oleh Miras.  
 
Harapan Publik 

Koordinator Presidium Majelis Daerah Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MD KAHMI) Manokwari  Purwanto dalam sebuah keterangan pers di Manokwari belum lama berselang, mendesak para pihak untuk segera melakukan penegakkan hukum atas pemberlakuan Perda Miras Nomor: 6/2006. 
“Sayang sekali Perda itu kurang ditegakkan, sehingga menjadi pemicu meningkatnya kriminalitas di Manokwari,” kata Purwanto menyoroti pemberlakuan Perda Miras  Nomor: 5/2006, yang dinilai sangat lemah. 

Kalau kemudian Bupati Hermus Indou menyatakan, akan melakukan revisi terhadap Perda dimaksud, maka itu boleh jadi sebuah pernyataan angin bagai segar yang telah lama ditunggutunggu publik. 
Jika tidak, maka bukan tak mungkin akan muncul gejolak-gejolak baru ke pelataran sosial yang dipicu baik langsung maupun tidak langsung oleh Miras. Simak saja data yang dikeluarkan Polda Papua Barat tentang tindak pidana yang dipicu Miras, yang memperlihatkan Manokwari sebagai daerah dengan jumlah kasus terbanyak. 

Tahun 2019 sebanyak 11 kasus tindak pidana Miras dan pada 2020 meningkat menjadi 13. Meskipun naik tipis, tetapi terjadi kecenderungan meningkatnya kasus Miras sebagai angka yang mengonfirmasi bahaya laten terus mengintai masyarakat di Kabupaten Manokwari sekaligus sebagai ibukota Provinsi Papua Barat ini. Angka tersebut, tentu sebatas tindak pidana murni Miras. Belum memperlihatkan tindak pidana akibat Miras seperti kecelakaan lalulintas, kekerasan dalam rumah tangga, tindak kriminal di ruang publik, bahkan lebih jauh dari itu terjadi dekadensi moral, kenakalan remaja, pemerkosaan, jambret dan tentu masih banyak lagi. 

Jika hanya menelisik jumlah angka, maka kelihatan sedikit. Tetapi, akibatnya secara kualitatif lebih destruktif terhadap relasi sosial antar-warga di daerah ini. Ada fenomena menarik yang patut menjadi bahan kajian para pemangku kewajiban, yakni Kota Sorong dengan perkembangan sektor jasa yang luar biasa yang juga memiliki Perda yang mengatur Miras (bukan melarang), justeru kasus tindak pidana Miras berada di bawah  Manokwari.

Tahun 2019 terjadi hanya tiga tindak pidana Miras dan pada 2020 naik menjadi delapan tindak pidana. Dari data yang tersaji, aparat penegak hukum, aktivis pemerhati masalah sosial, kaum cerdik pandai, alim ulama, tokoh agama, tokoh perempuan, pemuda, mahasiswa semestinya bersatu menyatakan perang melawan Miras. 
 
Dahulu, di Manokwari hanya ada Polres. Karena itu, banyak pihak berpretensi kekurangan aparat penegak hukum, tetapi kini sudah ada Polda masalahnya “setali tiga wang”. Demikian pun di TNI Angkatan Darat. Dahulu, hanya Kodim, kini sudah ada Kodam XVII/Kasuari, peredaran Miras tetap saja berlangsung masif. 
Keberadaan infrastruktur baru seperti Polda dan Kodam, dalam logika sederhana dapat dimaknai sebagai terjadi peningkatan jumlah aparat. Namun, hanya untuk memerangi peredaran gelap Miras tak bisa dilakukan? 
Dengan adanya peristiwa demi peristiwa belakangan ini yang mengancam  keserasian hidup bersama, keinginan Bupati Hermus Indou untuk melakukan revisi Perda Miras patut mendapat dukungan, sambil terus berkomitmen untuk memperketat pengawasan dan penegakkan hukum.

Namun, juga perlu kejelasan ke arah mana revisi Perda Miras dilakukan. Sementara itu Polisi Pamong Pradja yang keberadaannya diikhtiarkan sebagai aparat penegak Perda harus kian dipertajam perannya, demikian pula polisi yang tampil sebagai garda terdepan penegakan hukum dibantu aparat TNI. 
Akankah keinginan bersama untuk menciptakan Manokwari sebagai daerah dan kota  bermartabat  bisa tercapai ?. Jawabannya ada pada komitmen dan hati nurani kita semua, terutama para pemegang kuasa dan wewenang.

Pewarta: Ernes Broning Kakisina

Editor : Key Tokan A


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2021