Akademisi dari Universitas Papua (Unipa) Agus Sumule mengatakan program pemberian makanan bergizi gratis (MBG) bagi anak orang asli Papua (OAP) perlu dilakukan dua kali sehari.

Program tersebut tidak hanya meningkatkan asupan gizi generasi muda, melainkan menjadi solusi untuk mengatasi kebiasaan orang tua yang tidak menyediakan sarapan pagi bagi anak sebelum berangkat ke sekolah.

“Anak-anak OAP harus diberi makan sarapan, agar anak mengikuti pelajaran dengan kondisi memiliki energi. Setelah itu mereka juga perlu diberi makan siang, karena setelah beraktivitas sepanjang hari siang pasti anak lapar, energi sudah terkuras,” kata Agus di Manokwari, Papua Barat, Senin.

Ia mengatakan, pola pendidikan yang cocok diterapkan di Papua sebenarnya adalah pendidikan pola asrama karena kebanyakan keluarga OAP bersikap acuh tak acuh terhadap kebutuhan anak sekolah. Anak sering diajak melaut atau pergi ke kebun di jam sekolah.

Namun, agar pola asrama bisa diterapkan secara inklusif maka perlu dimodifikasi agar bisa diterapkan juga di sekolah-sekolah umum dan anak-anak tidak perlu menginap.

“Hal paling penting dari pola pendidikan asrama yang inklusif salah satunya adalah pemberian MBG,” ujarnya.

Ia mengatakan, pihak Unipa sudah menggagas konsep sekolah sepanjang hari (SSH) sebagai modifikasi pola asrama yang lebih inklusif.

Dengan SSH, anak bersekolah dari pagi hingga sore dan tetap pulang ke rumah. Namun saat di sekolah, semua kebutuhan anak disiapkan, mulai dari mandi, sarapan, makan siang, hingga snack sore. Kebutuhan seragam juga disiapkan di sekolah.

Model SSH juga melibatkan masyarakat sekitar, seperti ibu-ibu PKK untuk menyiapkan makanan anak, mencuci pakaian dan setrika baju. 

“Jadi sekolah model SSH ini tidak menambah beban bagi guru. Masyarakat sekitar didorong untuk mendukung kegiatan yang sifatnya non interaksi belajar dalam kelas,” ujarnya.

Ia mengatakan, jika pemerintah ingin efektif  menerapkan pemberian MBG di Papua bisa mengadopsi SSH, terlebih anggaran SSH tidak besar.

Apalagi saat ini semua pemerintah daerah di Papua mendapatkan dana otonomi khusus (otsus) dan beredasarkan UU Otsus, APBD harus mengalokasikan 20 persen untuk pendidikan.

“Sedangkan di Papua Barat ada dana otsus 30 persen dan dana bagi hasil migas (DBH) migas 35 persen, uang banyak sebenarnya. Untuk menerapkan SSH di sekolah-sekolah sebenarnya tergantung kemauan atau political will dari kepala daerah. Persoalannya pemerintah daerah mau betul-betul peduli dan mau menghitung atau tidak,” katanya.

Pewarta: Ali Nur Ichsan

Editor : Evarianus Supar


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2024