"Jangan jauhkan ANTARA dari negeri ini," tutur seorang pengemban amanah LKBN ANTARA di era digital yang memimpin selama 7,5 tahun (2016-2023) itu dalam percakapan di suatu malam di Kota Pahlawan, Surabaya (22/5/2023).
Pandangan orang nomer satu ANTARA yang akhirnya jadi diplomat itu mirip dengan pandangan seniornya di era reformasi, yang memosisikan ANTARA sebagai kantor berita negara.
Alasannya sederhana, yakni ANTARA memiliki peran historis untuk negara ini.
Peran dimaksud tidak jauh berbeda dengan peran pers Indonesia yang juga mengalami perubahan-perubahan. Ya, ibarat "Satu ANTARA, tiga perubahan". Pers Indonesia juga mengalami "perubahan" yang lengkap dalam tiga tahap.
Perubahan tahap pertama dimulai dari pers perjuangan yang selalu "kritis" dengan sikap penjajah, sebagaimana disuarakan Bung Tomo, pejuang yang juga wartawan, sosok yang menggerakkan semangat bangsanya lewat tulisan dan pidato yang bergelora.
Perubahan kedua, pers Indonesia pernah menjadi "corong" partai politik pada 1955-1959, sehingga terbitlah Suluk Indonesia (PNI), Harian Abadi (Masyumi), Pedoman (Sosialis), Duta Masyarakat (NU), Terompet Rakyat (PKI).
Saat itu, pers "dikuasai" oleh partai yang berkuasa dan siapa yang tidak tunduk akan mengalami pembredelan. Ketika era parpol berganti menjadi era pembangunan, pers akhirnya berganti menjadi "corong" pemerintahan Orde Baru. Siapa yang kritis terhadap presiden yang berkuasa akan dibredel, seperti Majalah Editor atau Tabloid Detak.
Perubahan ketiga, pers Indonesia menghirup era reformasi yang serba bebas dan sangat terbuka. Tapi, ibarat lepas dari mulut buaya, lalu masuk ke mulut harimau, maka pers Indonesia yang sudah lepas dari cengkeraman "penguasa" pun kini masuk ke cengkeraman industri.
Nah, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA yang didirikan Adam Malik dan kawan-kawan pada 13 Desember 1937 itu menjadi saksi dari "tiga perubahan" tersebut, lengkap tanpa koma dan titik.
Ya, ANTARA tercatat dalam sejarah sebagai "penyiar" berita naskah proklamasi 17 Agustus 1945 pukul 19.00 WIB ke seantero jagat, setelah paginya dibacakan oleh Ir. Soekarno (Bung Karno).
Setelah proklamasi, awak ANTARA juga banyak berkiprah dalam sejarah selanjutnya, seperti perobekan bendera triwarna Belanda di Surabaya pada 19 September 1945, bahkan awak ANTARA menjadi sosok kunci dalam peristiwa itu. Mereka adalah Abdoel Wahab Saleh, Djohan Sjahroezah, Soekarni, dan Loekitaningsih. Abdoel Wahab Saleh adalah jurufoto perekam kejadian di sebuah hotel itu.
Selain perlawanan Arek-Arek Suroboyo itu, pemicu Pertempuran 10 November 1945 berupa Resolusi Jihad di Bubutan VI/2 (Kantor NU) Surabaya, 22 Oktober 1945, pun disiarkan ANTARA pada 25 Oktober 1945 oleh Bung Tomo, orator Arek-Arek Suroboyo yang juga Wakil Pimpinan Redaksi Kantor Berita Pendudukan Domei/Pimpinan Redaksi Kantor Berita ANTARA Biro Surabaya.
"Kritis tapi bijak"
ANTARA juga pernah menjadi "penyiar" berita pembangunan di era Orde Baru, meski ANTARA harus menganut filosofi Jawa dalam pemberitaan, yakni "ngono yo ngono, ning ojok ngono" atau pemberitaan ANTARA menggunakan "bahasa" yang dapat membuat pemerintah dan masyarakat pun enjoy saat dikritik.
Misalnya, ketika pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas elpiji, ANTARA "tegak lurus" menjaga negara/pemerintah dengan menyukseskan kebijakan konversi yang akhirnya tak mengalami kendala berarti dan publik pun beruntung.
Atau, contoh lain ketika ANTARA (sebagai kantor berita) harus menyukseskan Pertemuan IMF, R20, G20, AMMTC ASEAN, dan agenda kenegaraan lainnya atau tugas kesejarahan yang ada dengan mengomandani newsroom atau host photo atau penugasan lain, baik skala nasional maupun internasional. Jadi, ANTARA memiliki peran historis dan strategis.
Kini, ANTARA menjadi lembaga yang memiliki status badan hukum sebagai salah satu BUMN di Indonesia sejak 2007. Sejak itu, ANTARA berusaha menyesuaikan diri dengan "perubahan" di masyarakat, pemerintah, negara, dan bahkan teknologi informasi, namun dalam posisi sebagai perum (perusahaan umum).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: ANTARA; sejarah, strategis, dan industri media
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2023
Pandangan orang nomer satu ANTARA yang akhirnya jadi diplomat itu mirip dengan pandangan seniornya di era reformasi, yang memosisikan ANTARA sebagai kantor berita negara.
Alasannya sederhana, yakni ANTARA memiliki peran historis untuk negara ini.
Peran dimaksud tidak jauh berbeda dengan peran pers Indonesia yang juga mengalami perubahan-perubahan. Ya, ibarat "Satu ANTARA, tiga perubahan". Pers Indonesia juga mengalami "perubahan" yang lengkap dalam tiga tahap.
Perubahan tahap pertama dimulai dari pers perjuangan yang selalu "kritis" dengan sikap penjajah, sebagaimana disuarakan Bung Tomo, pejuang yang juga wartawan, sosok yang menggerakkan semangat bangsanya lewat tulisan dan pidato yang bergelora.
Perubahan kedua, pers Indonesia pernah menjadi "corong" partai politik pada 1955-1959, sehingga terbitlah Suluk Indonesia (PNI), Harian Abadi (Masyumi), Pedoman (Sosialis), Duta Masyarakat (NU), Terompet Rakyat (PKI).
Saat itu, pers "dikuasai" oleh partai yang berkuasa dan siapa yang tidak tunduk akan mengalami pembredelan. Ketika era parpol berganti menjadi era pembangunan, pers akhirnya berganti menjadi "corong" pemerintahan Orde Baru. Siapa yang kritis terhadap presiden yang berkuasa akan dibredel, seperti Majalah Editor atau Tabloid Detak.
Perubahan ketiga, pers Indonesia menghirup era reformasi yang serba bebas dan sangat terbuka. Tapi, ibarat lepas dari mulut buaya, lalu masuk ke mulut harimau, maka pers Indonesia yang sudah lepas dari cengkeraman "penguasa" pun kini masuk ke cengkeraman industri.
Nah, Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA yang didirikan Adam Malik dan kawan-kawan pada 13 Desember 1937 itu menjadi saksi dari "tiga perubahan" tersebut, lengkap tanpa koma dan titik.
Ya, ANTARA tercatat dalam sejarah sebagai "penyiar" berita naskah proklamasi 17 Agustus 1945 pukul 19.00 WIB ke seantero jagat, setelah paginya dibacakan oleh Ir. Soekarno (Bung Karno).
Setelah proklamasi, awak ANTARA juga banyak berkiprah dalam sejarah selanjutnya, seperti perobekan bendera triwarna Belanda di Surabaya pada 19 September 1945, bahkan awak ANTARA menjadi sosok kunci dalam peristiwa itu. Mereka adalah Abdoel Wahab Saleh, Djohan Sjahroezah, Soekarni, dan Loekitaningsih. Abdoel Wahab Saleh adalah jurufoto perekam kejadian di sebuah hotel itu.
Selain perlawanan Arek-Arek Suroboyo itu, pemicu Pertempuran 10 November 1945 berupa Resolusi Jihad di Bubutan VI/2 (Kantor NU) Surabaya, 22 Oktober 1945, pun disiarkan ANTARA pada 25 Oktober 1945 oleh Bung Tomo, orator Arek-Arek Suroboyo yang juga Wakil Pimpinan Redaksi Kantor Berita Pendudukan Domei/Pimpinan Redaksi Kantor Berita ANTARA Biro Surabaya.
"Kritis tapi bijak"
ANTARA juga pernah menjadi "penyiar" berita pembangunan di era Orde Baru, meski ANTARA harus menganut filosofi Jawa dalam pemberitaan, yakni "ngono yo ngono, ning ojok ngono" atau pemberitaan ANTARA menggunakan "bahasa" yang dapat membuat pemerintah dan masyarakat pun enjoy saat dikritik.
Misalnya, ketika pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas elpiji, ANTARA "tegak lurus" menjaga negara/pemerintah dengan menyukseskan kebijakan konversi yang akhirnya tak mengalami kendala berarti dan publik pun beruntung.
Atau, contoh lain ketika ANTARA (sebagai kantor berita) harus menyukseskan Pertemuan IMF, R20, G20, AMMTC ASEAN, dan agenda kenegaraan lainnya atau tugas kesejarahan yang ada dengan mengomandani newsroom atau host photo atau penugasan lain, baik skala nasional maupun internasional. Jadi, ANTARA memiliki peran historis dan strategis.
Kini, ANTARA menjadi lembaga yang memiliki status badan hukum sebagai salah satu BUMN di Indonesia sejak 2007. Sejak itu, ANTARA berusaha menyesuaikan diri dengan "perubahan" di masyarakat, pemerintah, negara, dan bahkan teknologi informasi, namun dalam posisi sebagai perum (perusahaan umum).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: ANTARA; sejarah, strategis, dan industri media
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2023