Lebih dari 400 kepala keluarga harus kehilangan tempat tinggal mereka setelah kebakaran hebat melanda kawasan Borobudur II, sebuah perkampungan nelayan di Teluk Sawaibu, Kelurahan Padarni, Distrik Manokwari Barat,  Kabupaten Manokwari, Papua Barat pada 30 September 2021.

Meski hampir satu tahun berlalu, La Ode Caludin masih ingat betul peristiwa yang terjadi pada hari Kamis sekitar pukul 11.00 WIT itu.

"Beruntung kejadiannya siang hari dan lagi air pasang sehingga warga menyelamatkan diri ke perahu karena jalanan tertutup dengan asap tebal dan api. Kalau kejadiannya malam, saya tidak tahu apa yang terjadi," kata La Ode yang sudah 28 tahun menetap di kawasan Borobudur II, Manokwari.

Meski seluruh harta benda sirnah seketika akibat dilalap api, namun La Ode maupun warga nelayan lainnya tetap bersyukur karena tidak ada satupun korban jiwa dalam kejadian itu.

"Saya punya rumah tingkat, dua lantai hampir rampung. Rencananya lantai dasar untuk ruang pertemuan, sementara lantai dua untuk ruang keluarga dan kamar tidur anak-anak. Semua dari bahan kayu besi. Tapi semuanya habis, tinggal pakaian di badan saja. Saya hanya bisa menyelamatkan ijazah anak-anak saya," tutur La Ode, lelaki paruh baya asal Buton, mantan Ketua Kerukunan Masyarakat Sulawesi Tenggara di Manokwari.

Adapun warga korban kebakaran di kawasan Borobudur II Manokwari hampir seluruhnya berprofesi sebagai nelayan. Sebagian besar merupakan warga perantau asal Buton, Sultra. Sisanya sekitar 10-15 KK merupakan warga asli Papua.

Dua hari setelah kejadian itu, para korban kebakaran dibagi dalam tiga kelompok untuk menempati lokasi pengungsian sementara. Sebagian diungsikan di Gedung Wanita di kawasan Jalan Percetakan Negara Kelurahan Sanggeng, sebagian lagi diungsikan di kawasan Taman Jokowi Anggren dan sisanya menempati bekas gedung Kursus Latihan Kerja (KLK) milik Dinas PUPR, dekat lokasi kebakaran.

La Ode dipercayakan untuk mengurus sebanyak 209 KK yang kini menempati lokasi pengungsian di bekas gedung KLK Dinas PUPR.

Di lahan sekitar gedung KLK Dinas PUPR tersebut, setiap KK menempati bangunan darurat yang dibuat sekat dari bahan tripleks berukuran lebar 2,5 meter x 3 meter persegi.

Sedangkan untuk anak-anak muda yang masih bujang diberi satu kamar khusus di bagian dalam bekas gedung KLK.

Untuk mandi, mencuci dan lain-lain, warga harus antre menunggu giliran, lantaran hanya tersedia 6 MCK dan dua sumur bor untuk melayani ratusan hingga ribuan jiwa.

"Kalau rumah-rumah rata-rata kami swadaya sendiri, ada juga bantuan dari pemerintah dan teman-teman relawan, terutama saat masa tanggap darurat semua kerukunan di Papua Barat sangat membantu kami," kata La Ode yang juga menjadi Ketua Kelompok Nelayan di Manokwari itu.
 
Perahu-perahu nelayan ditambatkan pada tiang-tiang rumah bekas kebakaran di kawasan Borobudur II, Manokwari. (ANTARA/Evarianus Supar)

Berharap kembali

Hingga kini warga korban kebakaran kawasan Borobudur II Manokwari masih tetap tinggal di gubuk-gubuk darurat, padahal mereka butuh kejelasan akan nasib dan masa depan keluarganya, terutama anak-anak yang sedang bertumbuh dan mulai beranjak dewasa.

La Ode mengatakan warga pengungsi korban kebakaran di kawasan Borobudur II Manokwari mengharapkan Pemkab setempat membantu membangun kembali perumahan warga nelayan di lokasi bekas kebakaran.

Alasannya karena sulitnya mencari lokasi senyaman Borobudur II di Manokwari. 

Di pantai Borobudur II nelayan tidak kesulitan untuk menambatkan perahu karena ada tiang-tiang kayu dan beton bekas rumah yang terbakar. Belum lagi kondisi lautnya yang teduh karena laut lepas tertutup dengan Pulau Mansinam.

"Di Manokwari susah sekali mencari tempat seperti Borobudur II, terutama untuk tambatan perahu. Sekitar akhir tahun 1990-an kami pernah dipindahkan ke Arowi, Angkasa Mulia di Amban, tapi pada akhirnya masyarakat kembali ke Borobudur II karena masalah tempat usaha dan tempat tambatan perahu kami di sini," tutur La Ode.

Dengan alasan itulah, masyarakat nelayan Borobudur II sulit untuk pindah tempat tinggal di tempat-tempat lain di Manokwari. Apalagi kawasan itu mulai dihuni kelompok nelayan asal Buton, Sultra sejak awal tahun 1970-an.

Sejak saat itulah kawasan Borobudur II Manokwari terus berkembang hingga dikenal sebagai sentra utama pemasok ikan segar tidak hanya untuk kawasan Manokwari tetapi juga disuplai ke kabupaten tetangga seperti Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Pegunungan Arfak dan daerah lainnya di Papua Barat.

"Kalau bisa tempat yang ada ini dibangun kembali oleh pemerintah dikhususkan bagi nelayan, supaya bisa ditata lebih bagus, tidak lagi dibangun sendiri-sendiri oleh masyarakat sehingga terkesan semrawut. Yang paling utama, tempatnya dekat laut, kami tidak mau membebani pemerintah, masyarakat maunya cepat-cepat mandiri," harap La Ode.

Warga lainnya, Rahman mengaku hampir seluruh korban kebakaran Borobudur II Manokwari hingga kini masih kesulitan untuk bisa bertahan hidup lantaran rumah dan seluruh harta benda mereka musnah saat kebakaran.

Meski masih tetap melaut untuk mencari ikan, sebagian warga terutama ibu-ibu memanfaatkan tempat tinggal yang berukuran sangat kecil untuk membuka kios bahan kebutuhan pokok, sebagian lagi berjualan ikan asar saat pasar dibuka sore hingga malam hari dekat kawasan itu.

"Pengaruh dari kebakaran itu terhadap masyarakat di sini besar sekali, karena awalnya kami semua punya rumah, sekarang tidak punya apa-apa lagi. Apalagi sekarang harga bahan bakar terus naik, sulit lagi untuk mendapatkannya. Kondisi sekarang memang makin tambah susah," ujarnya.
Perairan Teluk Sawaibu Manokwari yang teduh jadi tempat favorit para nelayan untuk berlabuh menurunkan ikan segar hasil tangkapan dari laut. (ANTARA/Evarianus Supar)

Potensi perikanan

Rahman mengaku potensi perikanan di wilayah Manokwari dan sekitarnya sangat bagus terutama ikan jenis tuna, cakalang dan ekor kuning.

Agar spesies ikan-ikan itu tetap banyak, sebagian dibudidayakan para nelayan dengan cara melepas rumpon di tengah laut.

Hal itu dinilai ramah terhadap lingkungan dan tidak merusak terumbu karang.

Para nelayan juga dilarang keras untuk menggunakan bom untuk menangkap ikan

"Kami bekerja sama dengan pemerintah dan para pengusaha yang membeli ikan. Mereka menjatuhkan rumpon di tengah laut. Sekarang ada ratusan rumpon di tengah laut. Sejak tahun 1990-an tidak ada lagi nelayan di Manokwari yang gunakan bom ikan," ujar La Ode.

Baik La Ode maupun Rahman dan para nelayan korban kebakaran berharap Pemkab Manokwari maupun Pemprov Papua Barat memberi perhatian nyata untuk masa depan kehidupan mereka dengan membangun kembali perumahan permanen di lokasi bekas kebakaran agar kawasan Borobudur II Manokwari tetap dikenal menjadi sentra utama pemasok ikan segar di Kota Injil Manokwari.

 

Pewarta: Evarianus Supar

Editor : Evarianus Supar


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2022