Menjelang peringatan dua peristiwa keagamaan,  Nyepi bagi umat Hindu pada Jumat 17 Maret dan memasuki masa pra-Paskah mulai Minggu 18 Maret 2018, di mana  umat Kristen di seluruh dunia, tak terkecuali di Papua Barat, mempersiapkan diri  untuk menghadapinya, pers di daerah ini pun ikut larut dalam dinamika sosial religi melalui pemberitaan.

Karena ini adalah peristiwa keagamaan, maka sejatinya suasana hati kita, sedang meneguhkan batin untuk menghadapinya. Namun, tak demikian halnya, dengan kalangan pers. Melalui komunikasi di lini massa, tiga akun facebook berdiskusi di ruang maya terbuka, dengan kata-kata umpatan dan makian terhadap profesi jurnalis atau wartawan. Sesuatu yang kurang patut dilakukan di media sosial di mana publik dengan bebas memantau, bahkan mengundang diskusi pro-kontra.

Setelah melakukan penelusuran, dua dari tiga akun FB tersebut diidentifikasi sebagai milik dua oknum karyawan Bandara Rendani Manokwari, saudaraku Yohanes Krey dan Kurube Wellem, serta akun milik oknum anggota Reskrim Umum Polres Manokwari, I Nengah D. Widhiantara.

Ketiganya, menyoroti berita sebuah media mainstream soal peristiwa nyaris adu jotos antara oknum petugas Bandara Rendani dengan seorang jurnalis, ketika pesawat Batik Air mengalami insiden roda sebelah terperosok dalam lumpur saat pesawat berputar di ujung landasan untuk siap-siap take off .

Saya tergelitik untuk membuat tulisan bertajuk “Surat Terbuka Untuk Tiga Saudaraku”,  karena merasa menjadi bagian dari orang yang saudaraku umpat dengan nama binatang, makian, dan ajak berduel.

Saudaraku, tahukah kalian bahwa jurnalis adalah para juru warta --karena itu disebut wartawan--, dengan ideologi utama mengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan. Kami yang menjalaninya, adalah kumpulan manusia berdarah merah, bertulang putih, memiliki akal budi, sebagaimana saudaraku bertiga.
Bahwa karena profesi, kami harus bertemu dengan para pejabat yang saudaraku sebut sebagai “orang besar” memang benar. Tetapi, tidak lalu untuk berbuat sewenang-wenang seperti saudaraku sebut dalam akun FB.

Seperti saudaraku, kami adalah kumpulan manusia yang terikat oleh nilai, ada hukum, ada etika sosial, ada etika profesi. Jadi, janganlah membangun asumsi kami bertindak semau kami, dan kemudian membahas asumsi itu secara mendalam. Saya pastikan, itu bias…jauh sekali biasnya.
Untuk menjadi juru warta, tentulah harus memenuhi sejumlah standar. Syarat yang paling pertama dan utama adalah manusia berakal sehat. Manusia tetapi jika berakal budi lemah, tidak bisa menjadi wartawan. Mereka yang sedang didera kesehatan mental, tentu tidak bisa. Apalagi binatang. Bukankah binatang tidak berakal budi….?

Untuk sampai kepada tahapan menjadi seorang wartawan, tentulah melalui proses yang cukup panjang hingga level kompeten. Menjadikan diri saya sebagai contoh, wahai saudaraku, sejak 26 tahun silam memulai karier sebagai jurnalis, sudah puluhan forum pelatihan dan penggemblengan kapasitas   saya ikuti baik di dalam maupun luar negeri.

Bukankah proses, dalam bentuk dan jubah yang berbeda juga saudaraku bertiga ikuti untuk sampai pada tahapan menjadi karyawan Bandara Rendani, dan juga menjadi anggota Polri….?

Semua proses ini, tidak untuk mempersiapkan kami para jurnalis menjadi musuh publik. Juga tidak untuk menjadi musuh saudaraku bertiga. Sekali lagi, tidak. Kita bisa lakukan polling, profesi manakah yang paling banyak melakukan “pembelaan” terhadap publik, terutama menyuarakan suara dari mereka yang tak bersuara. Ini bagian terpenting dari pelayanan kami.

Lalu, mengapa saudaraku bertiga harus  mengumpat-umpat kami, mengajak berduel, menyebut kami dengan nama binatang dan mencaci maki kami…? --Untuk alasan mendidik publik, saya tidak mengutip kata-kata umpatan dan makian, karena kurang pantas dan patut--.

Untuk dua saudaraku oknum karyawan Bandara Rendani, Yohanes Krey dan Kurube Wellem.  Seperti juga kami para jurnalis , tugas kita memang bersentuhan dengan kepentingan banyak orang, karena itu, selalu ada kemungkinan untuk berbeda pendapat, apalagi ketika pada situasi darurat. Tetapi, haruskah dengan mengumbar kata-kata yang tak pantas di media sosial, sebuah ruang publik yang mudah terpantau publik.

Sementara untuk saudaraku, I Nengah D. Widhiantara, oknum anggota Polres Manokwari. Bukankah Polri sedang menggelorakan semangat cerdas bermedsos, sebagai bagian dari perang melawan hoax yang belakangan ini menimbulkan kegaduhan kita sebagai sebuah bangsa….?  Masa saudaraku ikut menyumbang kegaduhan itu!!!

Sebagai penyidik, apakah saudaraku merasa pantas, bilamana suatu ketika menyidik kasus ujaran kebencian, penghinaan dan pencemaran nama baik melalui medsos, sementara saudaraku pernah melakukannya…?

Bahwa perbuatan yang saudaraku bertiga lakukan adalah perbuatan pribadi karena itu, saya menyebutnya oknum. Tetapi, tahukah bahwa perbuatan-perbuatan itu, bisa berimplikasi kepada nama baik institusi di mana saudara-saudaraku bekerja…?

Saling Menghargai

Kepada ketiga saudaraku, dari relung hati yang paling dalam, saya ajak untuk mari kita belajar untuk saling menghargai profesi masing-masing. Sudah hampir 26 tahun menjadi jurnalis, saya pun masih terus belajar, karena berhadapan dengan masyarakat yang sangat dinamis dan berubah karakteristik sosial dari waktu ke waktu. Demikian juga rekan-rekan saya para wartawan di seluruh Indonesia, bahkan dunia.

Saudaraku bertiga. Kalian mengumpat dan memaki profesi jurnalis.  Tidak hanya kami di Manokwari dan Papua Barat. Tetapi, di seluruh Indonesia, juga di dunia. Perasaan kami cidera. Tapi, karena kami belajar untuk menjadi warga yang baik, taat dan patuh kepada  keteraturan sosial yang disiapkan negara, kami tidak membalas umpatan dengan umpatan dan makian dengan makian, apalagi mau membuka seragam kami untuk bisa berduel.

Kami memilih jalan yang semestinya dilalui. Proses hukum. Karena hanya proses inilah yang menjadi instrumen untuk mengatakan ini benar dan itu salah. Tetapi, tidak karena proses hukum, lalu relasi kita sebagai sesama saudara di Manokwari berjuluk  Kota Injil ini, harus berantakan. Hidup sudah terlampau sulit, jangan lagi dipersulit dengan perilaku asosial dalam relasi antar-manusia.

Mungkin --bisa saja saya salah -- saudaraku bertiga menganggap jurnalis atau juru warta adalah profesi hina dina, karena itu patut dicaci-maki. Kalau ini hina, biarlah kami menjalaninya. Ini pilihan, tetapi terbukti ikut  membangun peradaban umat manusia sejak zaman Yunani kuno.
Bahkan, jauh sebelumnya, para nabi dan rasul juga memerani tugas mulia ini, yakni mewartakan sabda Tuhan hingga ajaran semua agama samawi dan agama-agama berbasis budaya, tersiar ke seantero dunia. Ya….tugas pewartaan.

Dalam konteks perjuangan bangsa, saya boleh sebut beberapa nama wartawan seperti Adam Malik, yang karena kewartawanannya mengantar dia menjadi Wakil Presiden, atau karena kewartawannnya, Sabam Siagian menjadi duta besar atau Bambang Soesatyo yang kini menjabat Ketua DPR-RI adalah wartawan yang sudah malang melintang di sejumlah media massa nasional. Tentu masih banyak contoh.

Dari wartawan pula, Proklamasi kemerdekaan bangsa ini dipancar-luaskan oleh RRI ke seantero nusantara dan disebar-luaskan ke dunia internasional oleh Kantor Berita ANTARA.  Indonesia dalam waktu singkat mendapat pengakuan internasional. Ini, tentu peranan dari orang-orang yang memilih profesi yang kini diumpat dan dicaci oleh ketiga saudaraku.

Demikian surat terbuka ini untuk ketiga saudaraku dan mungkin pihak lain yang membutuhkan referensi soal profesi jurnalis atau wartawan.
Semoga perayaan Nyepi yang baru lewat dan masa pra-Paskah, mencerahkan kita semua sebagai warga bangsa. Petugas Bandara Rendani, anggota  Polres Manokwari, jurnalis , serta semua profesi bekerja dengan sebaik-baiknya, niscaya Manokwari maju, Papua Barat jaya. Salam persaudaraan.(Wartawan Kantor Berita ANTARA/Ketua Dewan Kehormatan PWI Papua Barat)



 

Pewarta: Key Tokan A

Editor : Key Tokan A


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2018