Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, diminta mewaspadai kecurangan yang terjadi di tempat pemungutan suara (TPS) pada Pilkada serentak 9 Desember mendatang. 

Berkaca dari pemilu-pemilu sebelumnya, praktik kecurangan yang berpotensi terjadi di TPS antara lain pemilih menggunakan formulir C-6 orang lain untuk mencoblos, pemilih yang memilih lebih dari satu kali, mobilisasi massa hingga sisa surat suara yang dicoblos sendiri oleh Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Karena itu jajaran pengawas pemilu diharapkan memberi pengawasan khusus kepada para petugas KPPS. Sebab bukan tidak mungkin ada oknum KPPS yang tidak netral yang menjadi otak sekaligus pelaku dari praktik curang di TPS.

Peringatan itu disampaikan para pemangku kepentingan di Wondama yakni tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh perempuan dan tokoh pemuda termasuk kepala distrik dan kepala kampung dalam Rapat Koordinasi Pengawasan Partisipatif yang digelar Bawaslu Teluk Wondama di kantor Bawaslu setempat, baru-baru ini.

“Peluang terbesar kebocoran itu ada di TPS. Surat undangan (C6) yang sering tidak disampaikan kepada pemiliknya, tapi itu memang sengaja ditahan. Saya sendiri pernah alami itu, saya minta undangan dibilang nanti bapak datang bawa KTP saja, akhirnya jadi dobel, “ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia Teluk Wondama Ustad Abudin Ohoimas.

Tokoh perempuan Wondama Yurike Waprak juga mewanti-wanti Bawaslu agar memberi perhatian khusus kepada petugas KPPS. Yurike juga mengaku punya pengalaman pada pemilu sebelumnya terkait formular C-6 yang dibagi-bagikan oleh oknum KPPS untuk digunakan oleh pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT.

“Saya minta Bawaslu, petugas KPPS harus diperhatikan. Karena kecurangan itu paling banyak terjadi di TPS. Kami yang penduduk lokal Wondama seringa da kecemburuan karena kami banyak tidak dapat undangan (undangan memilih).  

Sering kali jumlah pemilih sekian tapi saat pencoblosan itu melompat tinggi jadi kami minta harus ada pengawasan ketat di TPS,“ ujar Yurike yang juga Ketua organisasi Wawi Wondama.

Hal senada juga disampaikan Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Distrik Selatan dan Barat Adrian Worengga. Worengga secara khusus meminta Bawaslu mewaspadai praktik kotor yang bisa dimainkan sendiri oleh petugas KPPS yaitu mencoblos sisa surat suara.

Praktik kotor seperti ini biasanya terjadi petugas KPPS yang telah disogok dengan bayaran tertentu oleh tim sukses dari paslon tertentu. Oknum KPPS yang telah menerima bayaran itu lantas melobi rekan-rekannya sesama petugas KPPS dan saksi untuk sepakat membagi-bagikan sisa surat suara lantas dicoblos sesuai dengan pilihan mereka masing-masing.

“Sisa surat suara di TPS itu yang rawan disalahgunakan karena ada petugas KPPS yang tidak netral dia lakukan kesepakatan dengan saksi untuk dibagi-bagi dan dicoblos sampai habis. Ini sering terjadi jadi kami usul kalau bisa sisa surat suara itu langsung dimusnahkan di tempat agar tidak disalahgunakan," ujar Worengga.

Ketua Bawaslu Teluk Wondama Menahen Sabarofek mengakui potensi kecurangan di TPS seperti yang disampaikan para pemangku kepentingan itu berpeluang terjadi dalam Pilkada 2020. 

Dia mengajak semua stakeholder juga seluruh elemen masyarakat Wondama agar ikut aktif melakukan pengawasan di lapangan.

Sebab, kata Mena, demikian panggilan karib Ketua Bawaslu Wondama, keterbatasan petugas pengawas pemilu membuat pihaknya tidak mungkin bisa mengawasi semua yang terjadi di TPS. Termasuk terhadap kemungkinan adanya oknum petugas KPPS yang berlaku curang.

“Pilkada ini bisa suskses dan berintegritas juga ditentukan oleh setiap kita. Bapak ibu sekalian para stakeholder, bagaimana peran kita sekalian. Kalau ada pemilih dia tidak terdaftar tapi gunakan hak pilih orang lain, bapak ibu laporkan," kata Mena. 

Ia menegaskan bahwa pemilih yang menggunakan hak pilih orang lain bisa dikenai sanksi pidana. Ia mengharap  peran seluruh pemangku kepentingan sama-sama melakukan pengawasan. **

Pewarta: Zack Tonu B

Editor : Key Tokan A


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2020