Kecepatan perahu berkurang, namun mesin masih menderu. Kami memasuki  perairan antara Pulau Roon dan Raisei.  Kampung Inday, Syabes, dan kemudian Yende di sebelah pelabuhan berederet di kaki bukit. 

Dari kejauhan, tampak pula kampung Nyab, tempat asal  Om Obaja Sayori, sang juru mudi kami. Corak laut di rembang petang belum banyak berubah. Tenang. Landai. 

Begitu juru mudi mengarahkan perahu ke sebuah dermaga dururat dari  
susunan bebatuan alam, yang sengaja ditata apik, perahu kian melambat dan tertambat pada tepi kiri dermaga batu itu. 

Pelayaran menembus panas sekitar 2,5 jam tak terasa. Berdiri agak sempoyongan, karena lama duduk bersila di lambung perahu yang sempit. Namun, melihat warga yang menengok ke arah kami dari rumah panggung  masing-masing, saya jadi terpesona.

Sejumlah perempuan kampung bergerombol melihat kami. Dari segi penampilan, saya perkirakan mereka bukanlah orang-orang yang asing dari peradaban kota dan modernitas.  Model pakaian, rambut dicat pula, menyajikan fakta bahwa mereka bukanlah masyarakat tertinggal apalagi terasing.

Banyak  di antara mereka yang bertegur sapa dengan rombongan kami, kecuali saya yang paling asing dari semua penumpang perahu ini. Kami tiba di kediaman Pak Saidi.

Beberapa saat kemudian, kopi panas penghangat raga jelang senja, diikuti dengan ikan kuah  asam yang baru diangkat dari kompor. 

Aduhai nikmatnya. Dari rasa, pastilah ikan ini sangat segar. Saya tidak tahu nama ikan itu, meskipun sudah sering menikmatinya saat kecil di kampung saya di Witihama, Pulau Adonara, Kabupaten Flores 

Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah lama merantau, sajian ikan kuah asam itu, mengingatkan saya pada masa kecil di kampung.

Semangkuk ikan kuah kami habiskan berdua. Teman saya, Zafiludin alias Ipong, rupanya juga penikmat ikan yang sama. Kami berdua makan sambil memuji rasa masakan itu.

Hari mulai petang, saya lebih memilih duduk di beranda depan menyaksikan warga setempat yang lalu lalang pada jalan kampung yang mulus dari semen.

Malam tiba lebih cepat.  Karena kampung ini terletak di kaki bukit, mudah tertutup oleh bukit di sebelah barat berhutan lebat. Matahari cepat menghilang ke peraduan. Burung malam bersahutan bagai simphony alam. Meskipun ada jalan kampung yang mulus, tidak ada satupun kendaraan bermotor di kampung ini. Sepeda motor, apalagi mobil.

Kalaupun ada bunyi mesin, bisa dipastikan kalau bukan mesin genzet milik warga, maka itu adalah bunyi mesin perahu warga yang kembali dari melaut atau berkebun di pantai atau sebelah, yang berdekatan.

Rumah warga umumnya disinari lampu dari solarcell atau tenaga matahari bantuan pemerintah. Ada juga yang menggunakan mesin genzet. 

Beberapa warga berkumpul di rumah yang memiliki televisi. Tentu siaran bisa ditangkap dengan antena parabola. Bersama teman, kami bertamu ke keluarga sebelah –kira-kira 40 meter-- dari tempat saya menginap dan   sempat menonton berita dan hiburan sejumlah TV nasional. Di tengah asyik ngobrol dari satu tema ke tema lain, sang tuan rumah memperlihatkan kepada kami seekor ikan. 

Warga setempat menyebutnya gergahing. Besar, seukuran badan seorang bayi. Itulah bakal jamuan malam. Saya menikmati ikan itu kira-kira sama dengan dua porsi masakan di warung dengan pasangan swami, masakan khas orang Buton yang terbuat dari tepung singkong.Kebetulan bukan makanan asing bagi saya, karena di kampung saya juga mengenal makanan tersebut. Putu, namanya.

Saya merasakan hidangan malam itu sangat nikmat. Kami lahap, sambil berkelakar tentang banyak hal, dari isu kampung hingga isu global. Bahkan, ada warga kampung Yende yang menyentil soal Alexis, surga dunia yang izinnya tidak diperpanjang pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Saya berkesimpulan, dari segi wawasan orang Kampung Yende sudah tidak ketinggalan informasi. Dalam hal pendidikan, ketika perahu memasuki selat menuju kampung Yende saya melihat gedung SMP yang megah. 

Dalam hal penerangan, sebagian besar rumah menggunakan lampu listrik tenaga matahari dan sebagian kecil menggunakan genzet. Air bersih. Tak perlu khawatir. Saya baru pernah melihat sebuah kampung nun jauh di pelosok, di mana semua rumah kebagian air leding yang dipasang menggunakan Dana Alokasi  Desa (ADD).

Dalam hal kehidupan spiritual, tampak Gereja dengan gedung baru memadai. Salut buat pemerintahan Bupati Bernadus Imburi dan Wakil Bupati, Paulus Indubri.

Bahkan, di kampung ini, setiap 50 meter ada jembatan tambatan perahu yang dibangun dari susunan batu alam. Saya menghitung setidaknya ada lima di kampung itu. Hebat sekali. Tergambar jelas, motivasi warga untuk maju dan sejahtera.
    
Padahal di tempat kos saya di Kelurahan Wosi,  terletak di jantung Manokwari ibukota Provinsi Papua Barat, air bersih masih menjadi masalah besar. Sudah terlampau sering mandi air berwarna kuning karena sumur terkontaminasi banjir.

Tapi tidak di Yende, kampung  yang mungkin oleh orang kota, disebut udik tetapi air bersih terjamin. Semua rumah. Tidak terkecuali.

Hotel Terapung
    
Seusai membersihkan diri dari amisnya ikan dan keringat, saya bersama  seorang rekan memilih tidur di perahu kayu yang sedang berlabuh. 

Semula agak ragu. Ini Papua Bung. Keamanan sulit ditebak. Tapi, ternyata keraguan saya tidak beralasan.

Saya menikmati tidur yang sangat pulas malam itu. Perahu yang berlabuh kami jadikan hotel terapung. Malam yang tenang.  Begitu hening suasana, saat subuh saya mencoba menyusuri  jalanan kampung hingga ke dermaga di bagian barat.
    
Saya rasakan suasana begitu tenang. Damai. Duduk tepekur di ujung dermaga, sambil menyaksikan deretan rumah panggung  yang apik. Seorang nelayan tua, berambut keriting, berkulit hitam legam, bertelanjang dada, bersama anak gadisnya tiba di depan dermaga dengan sampan. 

Ciri-ciri mereka menegaskan jati diri sebagai  “aku Papua”. "Selamat pagi,” sapa mereka, membuyarkan lamunanku. Sapaan serupa juga dari warga yang berpapasan di jalanan kampung.  Sebagian besar dari mereka yang berpapasan, melakukan hal yang sama. Melempar senyum. 

Inikah keramah-tamahan a-la Yende?
    
Di rumah seorang warga, namanya Om Yustus Manauw, saya disuguhi pinang mudah. Siapa takut...?  Hidup harus selaras alam dan manusia. Di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Setelah menikmati pinang, kami akrab seperti sebuah keluarga yang sudah lama saling kenal.
    
“Beginilah kami orang Papua. Makan pinang sudah menjadi tradisi,”kata Om Yustus. Saya mengiyakan, karena makan pinang juga menjadi tradisi orang Flores, daerah asal saya.
    
Dari warga, saya tahu kalau Pulau Auri yang terkenal eksotik, tempat di mana banyak mesin perang bekas peninggalan Perang Dunia II terkubur 
di kedalaman perairan sekitarnya, hanya berjarak setengah jam pelayaran dari Kampung Yende. Karena itu, ketika  hendak pulang ke Wasior, saya bernazar untuk kembali ke Yende, guna melanjutkan pengelanaan dan berkontemplasi di Pulau Auri, “negeri” seribu penyu.****

Pewarta: Key Tokan A Asis

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2017