Purwokerto (ANTARA) - Dalam kajian komunikasi siber, ada istilah digital immigrant dan digital native yang dipopulerkan oleh seorang pemerhati pendidikan bernama Marc Prensky.

Lewat tulisannya, Prensky memberikan garis besar, bahwa digital native adalah mereka yang lahir, tumbuh dan besar di era digital. Sementara digital immigrant adalah mereka yang lahir di era teknologi sebelumnya, namun menjalani hidup pada era digital.

Digital immigrant ibarat para imigran di suatu daerah, mereka yang termasuk kelompok kedua ini seringkali dihadapkan pada situasi-situasi yang asing. Misalkan, sebagian dari mereka kerap merasa ragu karena tidak punya cukup modal penguasaan bahasa asing yang berlaku di tempat yang mereka datangi.

Di sisi lain, digital native ibarat penduduk asli. Mereka lahir dan tumbuh di tempat tersebut. Mereka paham dengan cuaca yang harus dihadapi. Bahkan ketika cuacanya sangat ekstrem, mereka tahu bagaimana melindungi diri agar tetap nyaman.

Mereka juga paham dengan budaya setempat, sehingga dapat menghindari risiko dan bahaya yang ditimbulkan akibat kesalahan bersikap atau berperilaku. Mereka juga paham dengan bahasa yang berlaku di tempat tersebut.

Dosen Magister Ilmu Komunikasi dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr Mite Setiansah, mengatakan analogi tersebut tepat sekali ketika digunakan untuk melihat masyarakat digital saat ini. Mereka yang lahir di generasi sebelumnya (generasi X atau Y) cenderung menjadi imigran atau pendatang di era digital.

Menurut doktor ilmu komunikasi ini, penguasaan "bahasa digital" generasi usia paruh baya ini tidak sebanyak anak-anak mereka. Akibatnya mereka terkadang menjadi ragu, fobia, banyak curiga, dan cenderung khawatir bahwa anak-anak mereka akan memasuki "ruang yang penuh bahaya."

Di sisi lain, mereka yang termasuk dalam digital native merasa santai dengan apa yang mereka hadapi di belantara digital karena mereka sudah terampil dengan "bahasanya" dan bahkan bukan tidak mungkin mereka telah memiliki ketahanan digitalnya sendiri.

Mereka paham bahwa ruang siber adalah ruang yang penuh dengan risiko. Risiko dimaksud adalah yang berkaitan dengan potensi kecanduan, potensi menjadi korban atau juga pelaku kekerasan, hingga risiko finansial.

Namun demikian, menurut Mite, menghindari risiko dengan memutus akses ke ruang daring (online), bukan berarti pilihan terbaik.

Baca juga: Berkenalan dengan cabang olahraga baru Esports
Baca juga: Google siapkan platform cloud gaming


Game PUBG

"Terkait dengan konteks tersebut, belakangan ini muncul berbagai narasi di media massa mengenai rencana untuk mengkaji game online. Termasuk game PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG)," katanya.

Game PUBG merupakan permainan virtual dalam ponsel cerdas bertema peperangan yang dimainkan antarpengguna "Player versus Player" (PvP) secara dalam jaringan atau daring.

Sejumlah unsur masyarakat mengkhawatirkan permainan tersebut memicu radikalisme karena mempraktikkan peperangan dan pembunuhan. Terlebih lagi, permainan genre battle royale itu menuai kontroversi setelah disebut mirip dengan aksi pelaku penembakan  di masjid di Christchurch, Selandia Baru.

"Jika dilihat dari sudut pandang kajian komunikasi siber, maka ini bisa bermula dari perbedaan cara pandang. Dalam konteks game PUBG, mereka yang khawatir terhadap dampak game tersebut dapat dikatakan sebagai digital immigrant sementara para gamers dan atau anggota komunitas e-sport, adalah digital natives," katanya.

Respons negatif terhadap game tersebut, kata dia, bisa jadi merupakan bentuk ekspresi kepedulian, dan kekhawatiran mereka akan hal-hal membahayakan yang bisa menimpa anak-anak yang mereka sayangi akibat game online tersebut.

Maka, di sinilah titik persilangannya. Setiap aspek kehidupan pasti memiliki risiko. Ada hal positif dan negatif yang bisa diambil tergantung penggunaannya.

Kendati demikian, kata dia, risiko tidak serta merta berarti bahaya, ibarat orang melintasi jalan raya. Jalanan adalah tempat berisiko dan bisa membahayakan tetapi bukan berarti harus menutup jalanan atau tidak melintasinya.

"Yang harus dilakukan adalah mempelajari aturannya, pelajari 'bahasa' nya, pasang rambu-rambunya agar siapapun bisa melintasi jalanan dan selamat dari risiko bahaya yang mungkin terjadi. Jalanan akan menjadi berbahaya jika penggunanya tidak tahu aturan, tidak paham rambu, dan tidak ada yang mengawasi," katanya.

Mite mengakui, PUBG bisa jadi berpotensi menimbulkan risiko kecanduan, perilaku agresif, mendorong untuk konsumtif dan lain sebagainya, tetapi menutup akses ke ruang berisiko belum tentu menjadi satu-satunya solusi.

Ketahanan milenial, menurut dia, justru akan lebih terasah ketika mereka dihadapkan pada risiko-risiko itu.

Digital immigrant dan digital native juga dapat bersama-sama mempelajari "bahasa" nya dan membuat rambu-rambu yang jelas dalam penggunaannya, serta melakukan pengawasan dan pendampingan melalui berbagai wadah seperti komunitas e-sport atau program literasi media.


Baca juga: Game mobile "PUBG" lampaui 100 juta download
Baca juga: BSSN: Game Online jadi sarana komunikasi teroris



Literasi Media

Bagi mereka yang menyebut dirinya gamers, era game online menjadikan budaya bermain bergeser bukan hanya untuk menghibur diri sendiri atau mengisi waktu luang, tapi juga membuka peluang ke arah pertandingan yang lebih serius dan profesional.

Mahasiswa pascasarjana Universitas Jenderal Soedirman, Alvie Rosalino mengatakan, pada era e-sport para pemain digiring menjadi pemain profesional.

Menurut dia, orientasi pemain game atau gamers saat ini adalah untuk menjadi pemain profesional seiring makin banyaknya wadah untuk menunjukkan kemampuan.

"Banyak turnamen skala kecil hingga nasional atau turnamen resmi yang disediakan oleh developer game-nya," katanya.

Dia menilai, game bisa mengasah kemampuan berpikir untuk membuat strategi, cermat dan tidak terburu-buru mengambil keputusan.

Kendati demikian, untuk menghindari dampak negatif, kata dia, para pemain juga perlu mengikuti regulasi yang berlaku, terutama terkait pembatasan usia.

"Pada dasarnya game memiliki banyak genre. Setiap game memiliki regulasi atau ketentuan masing-masing. Oleh sebab itu alangkah lebih bijak untuk mengikuti batasan umur untuk bermain game. Bermainlah sesuai dengan umur yang diperbolehkan untuk bermain," katanya.

Dengan demikian, maka perlu adanya pendampingan dan pengawasan dari orang tua kepada anak-anak mereka yang diberikan keleluasaan untuk bermain game. Game  untuk orang dewasa, misalnya, maka akan berdampak lain jika dimainkan oleh anak-anak.

Karena itu, penting untuk menghadirkan regulasi dengan disertai program literasi media, atau literasi game secara khusus.


Baca juga: Di era digital, data adalah bahan bakar pertumbuhan
 Baca juga: Sisi gelap dan terang era digital

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019