Jakarta (ANTARA News) - Psikolog Iqbal Maesa Febriawan menyarankan korban perundungan siber untuk mengambil langkah pertama, yaitu mengidentifikasi pelaku, saat mengalami tindakan perundungan siber.

"Walaupun disebutkan bahwa pelaku perundungan siber sukar ditemukan, secara kasus yang pernah muncul, 85 persen dari pelaku yang pernah melakukan perundungan siber adalah orang-orang terdekat atau first circle dari korban, bisa teman-teman, bisa tetangga mereka," kata Iqbal dalam diskusi mengenai perundungan siber di pusat kebudayaan Amerika Serikat @america, Jakarta, Selasa.

"Itu adalah modalitas pertama kita untuk menentukan siapa kira-kira pelaku yang melakukan perundungan siber," lanjut dia.

Lebih lanjut, Iqbal mengatakan bahwa korban perundungan sebaiknya berbicara secara terbuka kepada otoritas baik itu orang tua atau BK (Bimbingan Konseling) sekolah.

"Yang umum terjadi pada korban perundungan siber adalah bahwa mereka kebanyakan tidak ingin memberi tahukan pesan-pesan tersebut bahkan cenderung untuk meremehkan kasus perundungan siber dibandingkan perundungan tradisional," ujar dia.

"Padahal komentar yang tidak baik itu dapat mengantarkan korban 1,5 sampai 2,3 kali ke ujung hidupnya. Jadi sangat ditekankan bahwa korban harus terbuka dan berbicara kepada otoritas, setidaknya untuk memberikan perlindungan bagi mereka secara personal," sambung dia.

Terlepas dari itu, Iqbal menyarankan korban perundungan siber untuk tidak merespons pesan-pesan yang tergolong perundungan siber.

"Kalau teman-teman menemukan pesan-pesan yang mengganggu secara personal lebih baik diacuhkan saja, tidak perlu direspons sedemikian rupa," kata Iqbal.

(Baca juga: Apa itu perundungan siber?)

Psikolog dari Into The Light, komunitas yang berfokus pada upaya pencegahan bunuh diri dan kesehatan psikologis anak muda, itu juga membagikan cara untuk menghindari perundungan siber.

Pertama, jangan pernah membagikan password atau akun pribadi ke orang lain

"Itu adalah sesuatu yang tricky karena berbagi akun yang personal pada orang lain itu juga berarti membagikan hal-hal personal yang kita miliki kepada orang lain," ujar Iqbal.

"Padahal hal-hal personal yang kita miliki belum tentu menjadi domain-nya orang lain, dan ketika dibagikan kepada orang yang salah, informasi pribadi kalian akan terlanggar atau bahkan bisa dibagikan ke publik bahkan tanpa seijin kalian," lanjut dia.

Kedua, pikir baik-baik sebelum menekan post atau share

"Misalnya foto kalau kita post atau share kita tidak tahu apakah ada informasi pribadi yang terbawa di foto itu atau informasi orang lain yang sifatnya personal di foto itu," kata Iqbal.

"Jadi, mungkin sebelum kita menekan tombol post atau share kita lebih baik check recheck, beri jeda waktu sedikit untuk berpikir apakah informasi yang dibagikan kepada publik ini sudah layak atau belum," sambung dia.

Ketiga, mengganti password secara aktif.

Terakhir, belajar untuk menggunakan internet secara bijak.

"Saksi, kalau kalian melihat jangan membagikan ke orang lain, cukup screen shoot simpan jadikan barang bukti untuk ke pihak terkait atau otoritas," ujar Iqbal.

"Alih-alih melakukan judgement atau penghakiman ke pelaku, kita harusnya membuat korban lebih nyaman atas tindakan yang dikenakan padanya," tambah dia.

Baca juga: Perundungan siber bisa berujung bunuh diri

Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2017