Jakarta (ANTARA) - Kasus ujaran kebencian tampaknya tidak pernah habis dilontarkan atau diucapkan oleh masyarakat. Sasarannya jelas mengarah pada unsur suku agama ras dan antargolongan (SARA).

Kendati sudah ada produk hukum yang mengatur soal tindakan tersebut yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tetap saja ujaran kebencian belum bisa dibendung atau membuat masyarakat jera.

Teranyar kasus ujaran kebencian atau dugaan penistaan agama yang dilontarkan oleh YouTuber Muhammad Kace yang dinilai menistakan agama islam melalui kanal YouTubenya. Ia diduga melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) UU ITE atau Pasal 156a KUHP.

Berawal dari unggahan video ceramahnya terkait Kitab Kuning dan Nabi Muhammad SAW yang diunggah dengan judul "Kitab Kuning Membingungkan". Atas tindakannya tersebut masyarakat di Tanah Air langsung merespons dan meminta pihak kepolisian bergerak cepat menangkap sang YouTuber.

Tidak butuh waktu lama, Rabu (25/8) polisi berhasil menangkap Muhammad Kace alias Muhammad Kece di Bali dengan status tersangka yang disandangnya.

Sehari berselang, publik di Tanah Air kembali dihebohkan dengan penangkapan Yahya Waloni di kediamannya. Ia ditangkap karena kasus dugaan penodaan agama.

Sang ustaz ditangkap setelah dilaporkan oleh Komunitas Masyarakat Cinta Pluralisme. Laporan tersebut tertuang dalam LP Nomor: LP/B/0287/IV/2021/BARESKRIM.

Pada intinya, ustaz Yahya Waloni diduga menistakan agama melalui ceramahnya yang menyebut Bible palsu.

Sama halnya dengan YouTuber Muhammad Kace, ustaz Yahya Waloni juga disangkakan melanggar UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE terkait ujaran kebencian.

Dari dua kasus ujaran kebencian yang baru-baru ini terjadi dan cukup menyita perhatian publik, beragam respons juga tertuju kepada Korps Bhayangkara sebagai instansi terdepan yang menanganinya.

Ada yang merespons positif dan mengapresiasi kinerja Polri karena bertindak cepat, namun ada juga yang membandingkan dengan penyelesaian kasus yang hampir sama.

Sejumlah pihak mendesak agar polisi bertindak adil dalam menangani kasus dugaan penistaan agama sebagaimana yang menimpa Yahya Waloni dan Muhammad Kace. Desakan tersebut ditujukan kepada Polri agar memproses Permadi Arya alias Abu Janda dan Denny Siregar.

Baca juga: Polri benarkan penangkapan Yahya Waloni

Baca juga: CSIS luncurkan "dashboard" ujaran kebencian


Dua orang tersebut dinilai banyak pihak turut serta membawa kegaduhan di tengah publik akibat pernyataan yang dilontarkannya dan melukai agama tertentu.

Misalnya, pernyataan Abu Janda yang menyebut arogan itu adalah islam sebagai agama pendatang dari Arab terhadap budaya dan kearifan lokal di Tanah Air.

Kemudian pegiat media sosial Denny Siregar yang menyebut "adek2ku calon teroris yang abang sayang". Ucapan Denny tersebut menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat terutama bagi umat muslim.

Atas tindakannya tersebut ia dilaporkan ke Kepolisian Resor (Polres) Tasikmalaya, Jawa Barat dugaan tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan menggunakan foto tanpa izin.

Namun, laporan polisi yang dilayangkan masyarakat terhadap dua orang tersebut hingga kini masih mangkrak di meja kepolisian.

Desakan tersebut disampaikan oleh Ketua Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Razikin. Menurutnya, persoalan ini sangat serius dan sensitif.

"Polisi harus menjawab tuntutan dari masyarakat untuk menangkap Abu Janda dan Denny Siregar," ujarnya.

Keadilan hukum

Maraknya ujaran kebencian yang muncul ke tengah publik bisa jadi dilatarbelakangi banyak hal. Salah satunya akibat kondisi pandemi COVID-19 yang membuat banyak orang tidak bebas seperti biasanya.

Pandangan itu dikemukakan oleh Pakar Hukum Yenti Ganarsih yang menilai keadaan sekarang serba terbatas menimbulkan tekanan secara psikologis kepada masyarakat dan akhirnya berimbas pada perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan norma.

"Keadaan new normal, desakan ekonomi mengakibatkan mudahnya orang melakukan kejahatan termasuk merespons adanya penghinaan-penghinaan," kata Yenti Ganarsih.

Kendati demikian, apapun alasan seseorang hingga membuat ujaran kebencian tetap saja tidak dapat dibenarkan. Akan tetapi, menurut Yenti polisi juga harus bersikap adil, mengevaluasi diri termasuk dalam menangani kasus-kasus ujaran kebencian yang terjadi.

Evaluasi tersebut termasuk melihat kesiapan sumber daya manusia (personel), hingga profesionalitas polri dalam bekerja. Jika hal tersebut bisa diterapkan polisi, maka diyakini tidak akan ada lagi publik yang menuding atau beranggapan Korps Bhayangkara tebang pilih menangani kasus.

"Karena bisa saja ada ketidaksamaan perlakuan dan integritas," kata dia.

Baca juga: Instagram luncurkan fitur "Limits" cegah ujaran kebencian

Sebagai contoh ada kasus yang direspons langsung dan ada kasus yang lambat mendapat perhatian atau tindakan dari polisi. Akibatnya, masyarakat masih melihat hukum tumpul ke atas namun tajam ke bawah.

Bahkan, Yenti menilai tak jarang penanganan kasus seakan-akan melihat kekuatan di belakang orang yang berbuat yang akhirnya lambat untuk diusut. Padahal, pada dasarnya di mata hukum setiap orang diperlakukan sama tanpa perbedaan sama sekali atau pengecualian.

Senada dengan itu, Pakar Hukum dari Universitas Borobudur Prof Faisal Santiago mengatakan dewasa ini masyarakat cenderung memudahkan atau menggampangkan permasalahan dengan cara yang tidak baik.

Hal tersebut terjadi dikarenakan akses teknologi dan informasi tanpa batas dan ruang. Melalui jari jemarinya, masyarakat melampiaskan keinginan di dunia digital, baik itu perkara positif maupun negatif.

Kemudahan masyarakat meluapkan ekspresi tersebut tak jarang tanpa dibarengi filterisasi atau membatasinya dengan itikad yang bisa diterima oleh nilai dan norma.

Menurut dia, apa yang dilakukan oleh polisi dalam menindak pelaku ujaran kebencian yang mengarah pada SARA sudah tepat. Faktor agama merupakan alasan paling kuat atau cepat direspons oleh polisi apabila adanya dugaan ujaran kebencian.

"Sebab, penodaan agama ini bisa menyakiti banyak orang," ujar dia.

Di satu sisi, Santiago mengakui tebang pilih dalam hal penegakan hukum masih terjadi di Tanah Air. Oleh karena itu, pihak kepolisian diminta lebih profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai pengayom masyarakat.

Khusus desakan masyarakat terhadap pegiat media sosial Denny Siregar, ia menilai masyarakat harus bisa membedakan kritikan dan hujatan karena dua hal tersebut berbeda.

Santiago mengaku beberapa kali menyaksikan tayangan kritikan yang dilontarkan oleh Denny Siregar. Menurutnya, kritikan yang disampaikan Denny dibarengi dengan solusi jalan keluar.

Membendung ujaran kebencian

Sejak 2008 pemerintah memang telah menerbitkan UU ITE yang pada pokoknya mengatur segala macam aktivitas yang bersinggungan dengan ITE. Bahkan, salah satu pasalnya mengatur dengan jelas tentang ujaran kebencian.

Alih-alih ujaran kebencian makin turun, faktanya lahirnya undang-undang tersebut belum bisa menjawab tantangan kehidupan bernegara yang bebas dari ujaran kebencian.

Bahkan, Ketua Program Doktor Hukum Universitas Borobudur Prof Faisal Santiago pun mengaku bingung masih maraknya kasus ujaran kebencian meski sudah ada payung hukum yang mengatur soal itu.

Seharusnya, dari sekian banyak kasus ujaran kebencian yang terjadi di Tanah Air dan menjerat warga biasa tokoh agama, politisi hingga pejabat negara menjadi pelajaran bagi semua orang. Akan tetapi, hal itu tampaknya belum membuat masyarakat jera untuk berhenti menyebar ujaran kebencian melalui gawai.

Meskipun demikian, ia menilai masih banyak hal yang bisa dilakukan negara dalam mengatasi ujaran kebencian. Penguatan sosialisasi oleh Kementerian Agama dan aparat keamanan terkait bahaya ujaran kebencian perlu lebih dikuatkan.

"Penting untuk ditekankan menjaga agama dan tidak boleh mengganggu atau menghina agama lain," ujar dia.

Baca juga: JOC berencana patroli siber pantau ujaran kebencian saat Olimpiade

Jauh sebelum UU ITE lahir, islam telah mengajarkan tentang toleransi dan sikap menghargai keyakinan yang berbeda. Hal itu tercermin dalam Surah Al Kafirun. Pada ayat terakhir atau keenam yang secara jelas mengatakan bahwa "untukmu agamamu, dan untukku agamaku".

Selain penguatan sosialisasi oleh Kementerian Agama, pendekatan yang lebih intens oleh aparat kepolisian kepada tokoh agama dan tokoh adat juga harus dilakukan.

Tujuannya, pesan yang disampaikan pemerintah bisa diteruskan oleh pemuka agama atau dan tokoh adat kepada masyarakat luas. Hal itu diyakini bisa berjalan efektif karena setiap tokoh memiliki pengaruh kuat bagi pengikutnya.

Terakhir, agar kasus ujaran kebencian tidak terjadi lagi atau setidaknya dapat diminimalisir, maka aparat keamanan dalam hal ini polisi harus berani tegas dan tentunya tidak tebang pilih.

Dari sekian banyak masalah bangsa yang sedang dihadapi saat ini termasuk pandemi COVID-19 yang belum berakhir, sudah sepatutnya seluruh anak bangsa saling bergandengan tangan, mempererat kebinekaan dan menjauhi permusuhan.

Dengan demikian maka cita-cita pendiri bangsa yang menginginkan Indonesia betul-betul merdeka tidak terkhianati atau terkoyak hanya karena adanya ujaran kebencian di ranah publik.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021