Jakarta (ANTARA) - Sebagai upaya pencegahan korupsi pada Pilkada Serentak 2020, KPK memberikan pembekalan bagi pasangan calon kepala daerah dan penyelenggara pilkada.

Pembekalan itu berupa nilai-nilai integritas, potensi korupsi pada pilkada, mewujudkan "good governance", dan membangun tata kelola pemerintah daerah yang bersih dan transparan.

Pilkada Serentak 2020 akan diikuti oleh 736 pasangan calon kepala daerah di 270 daerah peserta pilkada yang meliputi 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah menyampaikan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 di tengah pandemik diharapkan tetap berjalan demokratis, luber, jurdil, dan tetap aman COVID-19.

Ada beberapa alasan mengapa diperlukan pilkada berintegritas. Pertama, luasnya kewenangan kepala daerah karena mengurus pemerintahan dan mengelola keuangan daerah.

Kedua, banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Berdasarkan data KPK hingga Juli 2020, 21 gubernur dan 122 bupati/wali kota terjerat kasus korupsi yang ditangani KPK.

Ketiga, politik uang pada pilkada, yaitu pada pendanaan pencalonan/kampanye hingga menjabat kepala daerah, melibatkan peserta, penyelenggara/pengawas, pemilih, partai politik hingga pengusaha/penyandang dana.

Baca juga: KPK gali informasi adanya dana pemda Rp252,78 triliun disimpan di bank

Baca juga: KPK tahan Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman


Potensi korupsi

Saat "Pembekalan Nasional bagi Calon Kepala Daerah dan Penyelenggara Pilkada" yang digelar Selasa (20/10), Ketua KPK Firli Bahuri juga mengingatkan potensi korupsi dalam penyelenggaraan pilkada tersebut.

Di hadapan calon kepala daerah, Firli mengungkapkan beberapa alasan orang melakukan korupsi, yakni karena serakah, karena kebutuhan, karena ancaman hukumannya bahkan vonis-nya rendah, dan lemah atau buruknya sistem.

KPK mencatat banyak kasus tindak pidana korupsi terungkap pada saat tahun politik pada 2015, 2017, dan 2018 sebagaimana hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPK.

Bahkan pada 2018, KPK telah menangkap 30 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.

Soal pelaksanaan pilkada, Firli menyoroti masalah pendanaan pilkada, yakni adanya kesenjangan antara biaya pilkada dengan kemampuan harta pasangan calon kepala daerah. Artinya, total harta pasangan calon kepala daerah tidak mencukupi biaya pilkada.

Berdasarkan survei KPK tersebut, total harta rata-rata satu pasangan calon adalah Rp18.039.709.967 bahkan ada satu pasangan calon yang memiliki harta minus Rp15.172.000.

Padahal sebagaimana wawancara mendalam dari survei itu untuk bisa mengikuti tahapan pilkada, setiap pasangan calon di tingkat kabupaten/kota harus mempunyai dana Rp5 miliar sampai Rp10 miliar.

Bahkan, jika ingin menang pilkada di tingkat kabupaten/kota tersebut, setiap pasangan calon harus mempunyai uang Rp65 miliar.

"Ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang di pilkada itu bupati/wali kota setidaknya punya uang Rp65 miliar. Padahal, punya uang hanya Rp18 miliar, artinya minus mau 'nyalon' saja sudah minus," ungkap Firli.

Selanjutnya, dari temuan survei KPK juga memperlihatkan bahwa pada 2017 terdapat 82,6 persen calon kepala daerah/wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Sedangkan pada 2018 sebanyak 70,3 persen juga menyatakan hal yang sama.

KPK juga menemukan bahwa pembiayaan proses pilkada oleh sponsor atau donatur itu tidak hanya terbatas pada masa kampanye saja.

KPK melakukan survei kembali untuk mengetahui apa alasan donatur tersebut mau membantu pembiayaan terhadap calon kepala daerah.

Temuan survei KPK pada 2018 mencatat 83,8 persen calon kepala daerah berjanji akan memenuhi harapan donatur ketika calon memenangkan pilkada.

Baca juga: KPK dalami penerimaan gratifikasi Rachmat Yasin beli berbagai aset

Baca juga: KPK konfirmasi mantan Kadis PU DKI Ery Basworo soal penerimaan uang


Firli pun menyatakan bahwa calon kepala daerah tersebut sudah menggadaikan kekuasan-nya kepada pihak ketiga yang membiayai pilkada dan berpotensi akan terjadi korupsi di kemudian hari.

Sedangkan dari pihak donatur, sebagaimana temuan survei pada 2018 memperlihatkan 95,4 persen donatur yang menyumbang tersebut mengharapkan dapat kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan, 90,7 persen dipermudah untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintah (pengadaan barang dan jasa).

Kemudian, 84,8 persen mendapatkan keamanan dalam menjalankan bisnis yang saat ini masih ada, 81,5 persen mendapatkan kemudahan akses bagi donatur/kolega untuk menjabat di pemda/BUMD, 72,2 persen mendapat kemudahan akses dalam menentukan kebijakan/peraturan daerah, 62,3 persen mendapatkan prioritas bantuan langsung, dan 56,3 persen mendapatkan prioritas dana bantuan sosial/hibah APBD.

Kemudian, Firli juga menyoroti di tengah pandemik COVID-19 khususnya calon kepala daerah petahana sudah banyak yang mengalokasikan anggaran penanganan COVID-19 disasar untuk Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Data KPK mencatat dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 58 daerah di antaranya atau 13,7 persen menganggarkan JPS di atas 40 persen dari total anggaran COVID-19.

Kemudian, pada daerah pilkada yang memiliki potensi petahana maju kembali, terdapat 31 daerah dengan anggaran JPS di atas 50 persen.

Bahkan 6 daerah mengalokasikan JPS di atas 75 persen, 1 daerah di antaranya mengalokasikan 100 persen anggaran COVID-19 untuk JPS saja.

Dalam pembekalan tersebut, KPK juga membeberkan jenis-jenis perkara tindak pidana korupsi yang ditangani sepanjang 2004 sampai 2020.

Penyuapan menjadi kasus tertinggi yang ditangani KPK sebanyak 704 kasus kemudian berturut-turut pengadaan barang/jasa 224 kasus, penyalahgunaan anggaran 48 kasus, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) 36 kasus, pungutan 26 kasus, perizinan 23 kasus, dan merintangi proses KPK 10 kasus.

Bahkan, KPK juga mencatat 26 dari 34 provinsi terjadi kasus korupsi sepanjang 2004 sampai 2020.

Jawa Barat yang paling tertinggi mencapai 101 kasus korupsi, Jawa Timur 93 kasus, Sumatera Utara 73 kasus, Riau dan Kepulauan Riau 64 kasus, DKI Jakarta 61 kasus, Jawa Tengah 49 kasus, Lampung 30 kasus, Sumatera Selatan 24 kasus, Banten 24 kasus, Papua 22 kasus, Kalimantan Timur 22 kasus, Bengkulu 22 kasus, Aceh 14 kasus, Nusa Tenggara Barat 12 kasus.

Kemudian, Jambi 12 kasus, Sulawesi Utara 10 kasus, Kalimantan Selatan 10 kasus, Kalimantan Barat 10 kasus, Sulawesi Tenggara 8 kasus, Maluku 6 kasus, Sulawesi Tengah 5 kasus, Sulawesi Selatan 5 kasus, Nusa Tenggara Timur 5 kasus, Kalimantan Tengah 5 kasus, Bali 5 kasus, dan Sumatera Barat 3 kasus.

Artinya, hanya terdapat 8 provinsi yang tidak ada kasus korupsi.

Firli pun mengharapkan hal itu terjadi karena program pencegahan korupsi di 8 provinsi tersebut berhasil dilakukan.

Dalam pembekalan tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga menyatakan kesuksesan pilkada merupakan orkestrasi dari sejumlah elemen baik pemerintah pusat dan daerah, penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, dan masyarakat.

Dari sisi anggaran, Tito mengatakan pemerintah pusat telah menganggarkan dana dari APBN dan telah pula ditransfer ke daerah yang akan menyelenggarakan pilkada.

Berdasarkan data per Oktober 2020, realisasi APBN 2020 untuk penyelenggaraan pilkada telah mencapai 98,04 persen. Anggaran APBN 2020 untuk pilkada sebesar Rp15,19 triliun dengan realisasi serapan sebanyak Rp14,89 triliun. Dengan demikian, anggaran yang belum ditransfer Rp297,87 miliar.

Selain itu, Tito berpesan bahwa jangan sampai pesta demokrasi pilkada menjadi pesta transaksional untuk kemenangan pasangan calon tertentu dan juga jangan sampai ada kampanye hitam yang menyebarkan informasi bohong atau hoaks. Bila ini terjadi, ia menegaskan tak akan segan-segan melaporkan ke Kepolisian untuk memidanakan-nya sebagai pidana kebohongan publik.

Sementara itu, Plh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ilham Saputra mendorong seluruh pasangan calon dan para pemilih dalam pilkada untuk mewujudkan pilkada berintegritas. KPU selalu menyampaikan kepada konstituen dalam setiap program pendidikan pemilih untuk menolak politik uang.

Sedangkan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengemukakan kualitas dan integritas pemilihan di tingkat daerah merupakan salah satu indikator kesuksesan demokrasi.

Penyelenggaraan pilkada berintegritas merupakan syarat mutlak terwujud-nya pilkada berkualitas. Ia menegaskan politik uang merupakan pelecehan terhadap kecerdasan pemilih yang merusak tatanan demokrasi dan meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.

Pembekalan itu nantinya diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada calon kepala daerah dan penyelenggara memahami modus-modus korupsi dalam penyelenggaraan pilkada dan cara menanganinya.

Selain itu, setelah terpilih diharapkan calon kepala daerah memahami bagaimana mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi dan bagi masyarakat pemilih agar dapat menggunakan hak pilihnya secara jujur.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020