Jakarta (ANTARA) - Dalam dinamika ketatanegaraan yang kerap berubah, entitas penegak hukum yang kuat menjadi kunci keberhasilan upaya pemberantasan korupsi.
Oleh karena itu, memperkuat entitas Kejaksaan Agung menjadi pekerjaan rumah yang sangat penting dalam mendukung upaya menegakkan keadilan dan menjamin supremasi hukum di tanah air.
Sayangnya dalam beberapa waktu terakhir ini, ada semacam upaya tersembunyi yang terendus untuk mencoba mereduksi kewenangan dan wibawa institusi ini.
Dalam situasi seperti ini, semakin jelas bahwa penguatan Kejaksaan Agung sebagai lembaga bukan saja mendesak, melainkan juga strategis, mengingat posisi sentralnya dalam pemberantasan korupsi.
Kejaksaan Agung telah mencatatkan kontribusi nyata dalam memerangi korupsi, bukan hanya di pusat, tetapi juga menjangkau ke berbagai sektor dan pelosok negeri.
Penanganan perkara-perkara besar seperti dugaan korupsi tata niaga timah, minyak goreng, impor gula dan garam, hingga skandal investasi yang membelit PT Asabri dan PT Jiwasraya, menandai keberanian institusi ini dalam menjangkau aktor-aktor berpengaruh yang sebelumnya terkesan tak tersentuh.
Salah satu langkah progresif yang patut dicatat adalah proses hukum terhadap kasus importasi gula yang menyeret nama mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong.
Perkara ini menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung tidak gentar menghadapi kekuatan politik maupun ekonomi.
Bahkan dalam konteks white collar crime, di mana pelakunya kerap memiliki jejaring kekuasaan dan sumber daya besar, Kejaksaan Agung menunjukkan ketegasan sikap yang langka.
Tak mengherankan apabila kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung mengalami peningkatan signifikan.
Survei nasional pertengahan tahun lalu mencatat, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi ini mencapai 76,2 persen, angka tertinggi di antara lembaga penegak hukum lainnya.
Prestasi ini bukan sekadar pencapaian simbolik, melainkan cermin dari harapan rakyat terhadap institusi yang mampu menegakkan keadilan secara efektif dan berani.
Sesuai amanat konstitusi dan Undang-Undang, Kejaksaan bukan semata organ penuntut umum, melainkan juga pemegang mandat penyidikan atas tindak pidana tertentu.
Kewenangan ini bukan keistimewaan yang datang begitu saja, melainkan lahir dari keputusan politik hukum negara, melalui DPR dan Presiden.
Dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 ditegaskan, bahwa Kejaksaan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman, memiliki posisi krusial dalam menjaga independensi dan objektivitas hukum.
Reformasi Hukum
Jaksa Agung ST Burhanuddin secara terbuka menegaskan komitmen institusinya dalam menyukseskan misi reformasi hukum yang sejalan dengan visi besar Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
Fokus pada pemberantasan korupsi dan narkoba menjadi garis tegas dari agenda reformasi hukum nasional. Namun dalam pelaksanaannya, tugas ini bukanlah pekerjaan ringan.
Laporan Transparency International Indonesia pada awal 2024 menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan di angka 34, dengan peringkat yang turun dari 100 ke 115.
Di sisi lain, Presiden Prabowo mengungkap kebocoran anggaran negara yang mencapai 30 persen, sebuah fakta mengerikan yang menuntut respons cepat dan tuntas.
Dalam konteks itulah, Kejaksaan Agung perlu dikuatkan secara kelembagaan dan moral. Penegakan hukum yang dilakukan harus berangkat dari nilai-nilai integritas, profesionalitas, dan keadilan substantif.
Pendekatan preventif mulai diperkuat, misalnya melalui peran Jaksa Pengacara Negara yang memberi pendampingan hukum kepada pemerintah daerah. Tujuannya bukan hanya menindak, tetapi mencegah potensi korupsi sejak dalam perencanaan.
Langkah lain yang juga menjadi perhatian adalah penguatan upaya pemulihan kerugian negara. Bukan sekadar menghukum pelaku, Kejaksaan kini aktif menelusuri dan menyita aset hasil korupsi, sehingga dimensi keadilan ekonomi juga terpenuhi.
Penanganan perkara dilakukan menyeluruh mulai dari pengaduan masyarakat, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga eksekusi putusan.
Dalam proses ini, sinergi dengan lembaga penegak hukum lain tetap dijaga untuk menghindari tumpang tindih kewenangan.
Dukungan Publik
Semua capaian tersebut tidak serta-merta menjadikan Kejaksaan Agung imun dari tekanan dan gangguan.
Upaya pelemahan bisa datang dalam berbagai bentuk termasuk pengerdilan kewenangan, delegitimasi di ruang publik, hingga tekanan politik terselubung.
Dalam kondisi seperti inilah, dukungan publik terhadap Kejaksaan Agung menjadi sangat krusial. Dukungan yang dimaksud bukan sebatas pujian atau retorika, tetapi partisipasi nyata dalam menjaga integritas institusi ini, mulai dari pelaporan tindakan korupsi hingga membangun opini publik yang sehat dan berpihak pada penegakan hukum.
Publik harus menyadari bahwa tugas pemberantasan korupsi tidak bisa hanya dibebankan pada satu institusi.
Namun keberanian dan komitmen Kejaksaan Agung yang sudah terbukti selama ini, layak dijaga dan diperkuat. Keberanian menuntut figur publik, termasuk pejabat tinggi negara, menunjukkan bahwa hukum dapat ditegakkan tanpa diskriminasi.
Pemandangan figur publik mengenakan rompi tahanan di gedung Kejaksaan menjadi simbol bahwa tak ada yang kebal hukum.
Di tengah pesimisme sebagian masyarakat terhadap penegakan hukum, Kejaksaan Agung berdiri sebagai harapan yang masih menyala. Namun harapan ini tak akan bertahan lama jika tidak dipupuk dengan dukungan moral, politik, dan institusional dari seluruh elemen bangsa.
Penguatan Kejaksaan Agung bukan semata agenda kelembagaan, melainkan juga bagian dari pertarungan panjang dalam mewujudkan negara hukum yang berkeadilan dan beradab.
Semakin kuat Kejaksaan Agung, semakin besar peluang membangun Indonesia yang bebas dari belenggu korupsi.
Dalam pertarungan melawan penyakit kronis bangsa ini, Kejaksaan Agung harus menjadi garda depan yang berani, bersih, dan terpercaya. Dukungan terhadapnya adalah investasi jangka panjang untuk demokrasi dan kesejahteraan. (Penulis adalah Dosen Universitas Catur Insan Cendekia (UCIC) Cirebon).
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menguatkan pilar kunci dalam pemberantasan korupsi