Sorong (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya terus menanamkan budaya anti kekerasan terhadap anak lewat sosialisasi kepada anak sekolah di SMP Negeri-2 di wilayah itu sebagai bagian dari upaya meminimalisir tindak kekerasan terhadap anak.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (P2KBP3A) Kabupaten Sorong, Ferry Fatem di Sorong, Rabu mengatakan bahwa tidak sedikit kekerasan yang dialami oleh sejumlah anak di Kabupaten Sorong.
"Sepanjang 2023, ada 25 kasus kerasan verbal dan non verbal yang dilaporkan. Kemudian sekitar 10 kasus sudah diproses di pengadilan," beber Kepala Dinas P2KBP3A, Ferry.
Ini membuktikan bahwa kekerasan itu masih berlangsung terhadap anak, sehingga menjadi penting bagi pemerintah untuk sedini mungkin menerapkan dan menanamkan budaya anti kekerasan itu kepada anak sekolah, ujarnya.
Kekerasan verbal dan non verbal hingga kekerasan seksual memberi dampak buruk terhadap psikis anak mulai dari kategori ringan hingga berat.
“Jadi sosialisasi ini sengaja kita berikan langsung kepada anak, supaya mereka bisa mengenali ciri-ciri perlakukan kekerasan itu apa saja. Kemudian mereka juga tahu bagaimana nanti cara untuk mengatasinya,” ujar Ferry Fatem.
Sementara itu, Kepala Bidang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Dinas P2KB P3A, Frida F. Gifelem menambahkan, saat ini anak sekolah tidak hanya menjadi korban kekerasan saja, melainkan banyak dari mereka adalah pelaku kekerasan. Terutama kekerasan verbal dalam bentuk perundungan (bullying).
“Karena dampak dari perundungan ini sangat besar terhadap kesehatan mental. Sebab kondisi mental tiap orang tidak sama,” terang Frida.
Oleh sebab itu, melalui sosialisasi tersebut kekerasan dalam bentuk apapun yang terjadi pada anak di lingkungan sekolah diharapkan bisa ditekan. Baik, anak sebagai objek kekerasan maupun anak sebagai pelaku kekerasan.
“Kami hadirkan unit PPA Polres Sorong dalam sosialisasi ini untuk menyampaikan kepada anak anak pelaku kekerasan agar mereka juga mengetahui dampak yang akan diperoleh ketika mereka menjadi pelaku kekerasan. Jadi bukan hanya anak sebagai korban yang ditolong, melainkan anak sebagai pelaku kekerasan juga harus dibantu untuk merubah perilakunya,” beber Frida.
Sebab, kata dia, anak di bawah umur pasti membutuhkan pendampingan dari orang yang lebih dewasa dalam setiap hal yang dilakukan.
“Kita harus ingat bahwa anak dilindungi undang-undang khusus, sehingga sejahat apapun entah mereka menjadi pelaku kekerasan, mereka tetap berhak dilindungi. Itu dijamin oleh undang-undang,” tegasnya.
Frida menambahkan, selama ini pihaknya selalu bekerjasama dengan unit PPA Polres Sorong dalam penanganan sejumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di wilayah Kabupaten Sorong.
Sementara itu, Staf Ahli Bupati Bidang SDM, Wa Ode Likewati menambahkan ada beberapa kiat untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak. Yakni, Pertama, memberikan informasi sosialisasi dan pendidikan tentang norma sosial dan praktik budaya yang menerima, membenarkan dan mengabaikan kekerasan.
Kedua, membangun sistem pada tingkat komunikasi dan keluarga untuk pengasuhan mendukung relasi yang aman untuk mencegah kekerasan.
Ketiga, meningkatkan keterampilan hidup dan ketahanan diri anak dalam mencegah kekerasan,
"Upaya ini dilakukan melalui jejaring (termasuk advokasi) dengan layanan pendukung yang terjangkau dan berkualitas untuk korban pelaku dan anak dalam risiko," kata dia.