Plt Kepala Dinas Kehutanan Papua Barat Jimmy E Susanto di Manokwari, Selasa, mengatakan regulasi pembayaran jasa karbon dikaji bersama Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) setempat.
"Selama ini hanya jasa hutan kayu, kalau karbon belum ada sehingga dilakukan pengkajian," kata Jimmy Susanto.
Ia menargetkan kajian kompensasi jasa penyerapan emisi akan rampung pada 2024, sehingga masyarakat adat di Papua Barat mendapatkan dampak ekonomi dari kontribusi melestarikan hutan.
Kajian itu sejalan dengan penjualan jasa penyerapan emisi kepada pembeli yang memproduksi gas rumah kaca melalui bursa saham Indonesia sejak 26 September 2023.
"Perdagangan karbon sudah masuk ke bursa saham, maka kami percepat kajian kompensasi bagi masyarakat adat," kata Jimmy.
Ia menjelaskan bahwa kompensasi yang dimaksud adalah pembayaran sejumlah uang sesuai hasil perhitungan dari luasan hutan milik masyarakat adat.
Kompensasi berupa uang atas upaya pelestarian hutan sebelumnya diatur melalui Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 5 Tahun 2018.
"Kami harapkan kompensasinya dalam bentuk uang dan program untuk menjaga hutan di Papua Barat," kata Jimmy.
Menurut dia, masyarakat adat di Tanah Papua merupakan elemen penting karena memiliki pengetahuan lokal dalam menjaga kelestarian hutan.
Dengan demikian, pemerintah perlu memberikan apresiasi melalui pembayaran kompensasi karbon agar komitmen penurunan emisi gas rumah kaca dapat direalisasikan.
Jimmy menerangkan bahwa kontribusi signifikan terhadap penyerapan karbon berasal dari hutan mangrove yang tersebar dari wilayah selatan Papua Barat yakni Kabupaten Fakfak, Teluk Bintuni, dan Kaimana.
Total luasan hutan mangrove Papua Barat setelah adanya pemekaran Provinsi Papua Barat Daya lebih kurang 400 ribu hektare yang dapat dikelola untuk pembangunan rendah karbon.
"Satu hektare hutan mangrove bisa menyerap 110-an kilogram karbon," kata Jimmy Susanto.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Papua Barat kaji pembayaran kompensasi karbon bagi masyarakat adat