Jakarta (ANTARA) - Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 silam tidak langsung mengantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang merdeka secara utuh.
Salah satunya adalah dengan terlaksananya Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) sebagai upaya pembebasan Irian Barat (Sekarang Papua Barat dan Papua Barat Daya) dari Belanda yang menjadi kenangan sejumlah masyarakat setempat yang waktu itu menjadi saksi.
Salah satunya adalah Tokoh Masyarakat Hukum Adat Suku Moi, Benyamin Kalami (65), yang menjadi salah seorang saksi bagaimana situasi Irian Barat ketika Operasi Trikora berlangsung di wilayahnya.
Namun siapa sangka, dari peristiwa tersebut juga melahirkan sebuah kampung yang kini menjadi permata di Papua Barat Daya, seusai Operasi Trikora. Kampung tersebut dikenal sebagai Kampung Malaumkarta.
Malaumkarta merupakan nama sebuah kampung yang terletak di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, yang memiliki jumlah penduduk sekitar 300 jiwa pada 2018.
Sejarah Kampung Malaumkarta
Benyamin Kalami, yang akrab dipanggil Bapak Beka, mengatakan berdirinya Kampung Malaumkarta diinisiasi oleh prajurit Kodam V/Brawijaya yang membuat sebuah kampung pengungsian dari sejumlah dusun yang ada di sekitar wilayah Kampung Malaumkarta yang pada saat itu belum dibentuk.
"Awalnya, daerah yang dibuat ini (merujuk kepada Kampung Malaumkarta) namanya Kampung Brawijaya, Distrik Makbon," katanya saat ditemui ANTARA di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Selasa (6/6).
Pada masa pendudukan Belanda di Irian Barat, daerah tersebut merupakan daerah yang cukup berbahaya, hingga mengakibatkan sejumlah warga harus mengungsi ke beberapa tempat, seperti Pulau Um, yang berjarak sekitar 10 km dari Malaumkarta.
Hingga tahun 1962 tibalah pasukan Raider dari Kodam V/Brawijaya di kampung sebelah, merujuk ke kawasan lama Kampung Suatolo.
Kemudian, warga yang mengevakuasi diri ke Pulau Um mulai dikembalikan ke kampung asalnya. Hanya saja, kala itu, banyak di antara mereka yang lebih memilih untuk menetap di kawasan yang dibuka oleh pasukan Kodam V/Brawijaya.
Setelahnya, nama daerah tersebut lebih dikenal sebagai Kampung Brawijaya hingga Penentuan pendapat rakyat (Pepera) diadakan pada 1969 sebagai proses pemilihan umum untuk memilih, apakah rakyat Irian Barat memilih untuk merdeka atau bergabung dengan Indonesia.
Pada tahun itu, seluruh tokoh adat di Irian Barat dibawa ke Jakarta untuk bermusyawarah.
Seluruh warga Kampung Brawijaya yang berasal dari Suku Moi menyambut kehadiran tokoh adat, sepulangnya dari Jakarta.
Tidak lama setelah mendapat kabar bahwa Irian Barat bergabung dengan Indonesia, maka perlahan situasi mulai kondusif dan beberapa pasukan Kodam V/Brawijaya meninggalkan lokasi tersebut.
Namun, penamaan Kampung Brawijaya bukanlah penamaan resmi. Hal itu pula yang menyebabkan masyarakat setempat harus memberikan nama kepada kampung yang dihuninya.
Kata Mala itu artinya gunung (merujuk pada wilayah dataran tinggi di selatan Malaumkarta) dalam Bahasa Moi, um itu berasal dari Pulau Um, dan karta itu mengambil dari tokoh adat yang waktu itu ikut konferensi di Jakarta, akhirnya terciptalah nama Malaumkarta.
Permata di Papua
Saat ini, wilayah Kampung Malaumkarta dimekarkan menjadi lima desa, yakni Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Malagufuk, dan Mibi, yang tergabung dalam daerah yang dijuluki sebagai Malaumkarta Raya.
Kelima wilayah tersebut merupakan wilayah yang dihuni oleh mayoritas Suku Moi, yang telah diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA) sejak 2017 oleh Pemerintah Kabupaten Sorong.
Oleh karena itu, MHA Suku Moi berhak atas wilayah kelola yang dilindungi oleh hukum di lima wilayah tersebut, dengan luas sekitar 4.000 hektare di perairan dan 16.000 hektare di daratan.
Pemberian wilayah kelola MHA di daerah tersebut bukan tak beralasan, sebab wilayah tersebut merupakan wilayah yang kaya akan potensi wisata alam.
Sejumlah spesies duyung masih dapat dijumpai dengan mudah di wilayah tersebut. Selain itu, Pulau Um yang berarti Pulau Kelelawar dalam bahasa Moi, juga merupakan habitat asli Kelelawar di daerah tersebut.
Salah satu keunikan dari Pulau Um bisa dilihat ketika sore hari, dimana kelelawar yang tidur di siang hari meninggalkan sarangnya pada waktu sore, dan bergantian dengan burung camar untuk beristirahat pada malam hari.
Selain itu, Pulau Um juga merupakan tempat penetasan telur Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) yang merupakan spesies penyu raksasa satu-satunya yang masih hidup dari Suku Dermochelyidae yang masih hidup.
Potensi wisata alam di wilayah itu juga mencakup bangkai pesawat peninggalan Jepang yang karam tidak jauh dari pesisir pantai Kampung Malaumkarta, yang kini menjadi rumah bagi sejumlah biota laut.
Tidak mengherankan jika pada 2018 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebut bahwa nilai ekonomi sumber daya alam yang dikelola Kampung Malaumkarta mencapai angka Rp156,39 miliar per tahun
Hal itu pula yang mengantarkan Kampung Malaumkarta sebagai satu-satunya peserta yang berasal dari Papua yang masuk ke dalam 75 besar Anugrah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023 oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Dengan keberadaan Kampung Malaumkarta yang kaya akan potensi wisata alamnya, dapat dikatakan bahwa Kampung Malaumkarta juga menjadi salah satu permata di Papua yang harus dijaga dan dikelola dengan baik.
Dengan semakin dikenalnya Kampung Malaumkarta di mata masyarakat Indonesia, juga dapat menjamin kesejahteraan masyarakatnya sebagai Warga Negara Indonesia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kampung Malaumkarta, warisan Trikora yang menjadi permata di Papua