"Lokasi yang kami pilih ada tiga, yaitu Papua Barat Daya, Belitung, dan Minahasa Utara," ujarnya dalam acara bertajuk Kick Off Meeting: Integrasi Karbon Biru dalam Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia yang digelar di Hotel Pullman, Jakarta, Senin.
Sri menjelaskan bahwa 70 persen implementasi proyek berada di wilayah timur dengan 50 persennya berada di Papua.
Menurutnya, lokasi yang dipilih itu mewakili semua persoalan tentang pengelolaan ekosistem biru di Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut memiliki tutupan mangrove dan padang lamun yang masih bagus serta tebal.
Pada Oktober 2022, Bappenas dan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) bersama dengan Agence Francaise de Development (AFD) telah menandatangani perjanjian hibah 600 ribu euro atau setara Rp9,63 miliar.
Hibah itu digunakan untuk mendukung dua kegiatan utama yang berlangsung selama 36 bulan.
Pertama, persiapan dokumen kebijakan karbon biru nasional untuk mendukung peningkatan kebijakan dan regulasi saat ini tentang inklusi karbon biru.
Kedua, meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan nasional dan daerah dalam hal baseline, inventarisasi; dan pedoman pengukuran, pelaporan, serta verifikasi (MRV).
Proyek itu diharapkan bisa mendukung pencapaian target Enhance NDC dan implementasi Indonesia Blue Carbon Strategic Framework sebagai upaya untuk mengarusutamakan berbagai inisiatif karbon biru di Indonesia ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2045.
Sri mengungkapkan ada tiga tantangan dalam implementasi karbon biru di lapangan, yaitu kebijakan, sumber daya manusia, serta koordinasi.
"Oleh sebab itu, kita memerlukan integrasi pengelolaan ekosistem karbon biru ini ke dalam kebijakan keanekaragaman hayati dan iklim di Indonesia," ucapnya.
Bappenas mencatat potensi karbon biru yang dimiliki oleh Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia dengan luas hutan mangrove mencapai 3,3 juta hektare dan padang lamun sebanyak 293.000 hektare.
Kedua ekosistem pesisir itu diperkirakan mampu menyimpan karbon hingga 3,3 gigaton atau 17 persen dari karbon biru global, sehingga pemerintah Indonesia lantas memprioritaskan ekosistem karbon biru dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir.
"Proyek ini sebagai salah satu upaya untuk mendorong pengintegrasian karbon biru dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia," kata Sri.
Karbon biru yang tersimpan pada ekosistem pesisir dan laut punya peran penting untuk mencapai target penurunan emisi yang tertuang dalam target Enhanced NDC Indonesia sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Country Director of Indonesia dari Agence Francaise de Developpment (AFD) Yann Martres mengatakan proyek itu mendukung Indonesia untuk mengintegrasikan karbon biru ke dalam target Enhance NDC tersebut.
Oleh karena itu, AFD mendukung implementasi ambisius Indonesia terkait pengelolaan karbon biru.
"Kami percaya ini adalah langkah terbaik untuk kelestarian dan restorasi ekosistem karbon biru," pungkasnya.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Proyek karbon biru berfokus di wilayah timur Indonesia Sri menjelaskan bahwa 70 persen implementasi proyek berada di wilayah timur dengan 50 persennya berada di Papua.
Menurutnya, lokasi yang dipilih itu mewakili semua persoalan tentang pengelolaan ekosistem biru di Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut memiliki tutupan mangrove dan padang lamun yang masih bagus serta tebal.
Pada Oktober 2022, Bappenas dan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) bersama dengan Agence Francaise de Development (AFD) telah menandatangani perjanjian hibah 600 ribu euro atau setara Rp9,63 miliar.
Hibah itu digunakan untuk mendukung dua kegiatan utama yang berlangsung selama 36 bulan.
Pertama, persiapan dokumen kebijakan karbon biru nasional untuk mendukung peningkatan kebijakan dan regulasi saat ini tentang inklusi karbon biru.
Kedua, meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan nasional dan daerah dalam hal baseline, inventarisasi; dan pedoman pengukuran, pelaporan, serta verifikasi (MRV).
Proyek itu diharapkan bisa mendukung pencapaian target Enhance NDC dan implementasi Indonesia Blue Carbon Strategic Framework sebagai upaya untuk mengarusutamakan berbagai inisiatif karbon biru di Indonesia ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2045.
Sri mengungkapkan ada tiga tantangan dalam implementasi karbon biru di lapangan, yaitu kebijakan, sumber daya manusia, serta koordinasi.
"Oleh sebab itu, kita memerlukan integrasi pengelolaan ekosistem karbon biru ini ke dalam kebijakan keanekaragaman hayati dan iklim di Indonesia," ucapnya.
Bappenas mencatat potensi karbon biru yang dimiliki oleh Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia dengan luas hutan mangrove mencapai 3,3 juta hektare dan padang lamun sebanyak 293.000 hektare.
Kedua ekosistem pesisir itu diperkirakan mampu menyimpan karbon hingga 3,3 gigaton atau 17 persen dari karbon biru global, sehingga pemerintah Indonesia lantas memprioritaskan ekosistem karbon biru dalam perencanaan tata kelola ruang dan konservasi pesisir.
"Proyek ini sebagai salah satu upaya untuk mendorong pengintegrasian karbon biru dalam kebijakan perubahan iklim di Indonesia," kata Sri.
Karbon biru yang tersimpan pada ekosistem pesisir dan laut punya peran penting untuk mencapai target penurunan emisi yang tertuang dalam target Enhanced NDC Indonesia sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
Country Director of Indonesia dari Agence Francaise de Developpment (AFD) Yann Martres mengatakan proyek itu mendukung Indonesia untuk mengintegrasikan karbon biru ke dalam target Enhance NDC tersebut.
Oleh karena itu, AFD mendukung implementasi ambisius Indonesia terkait pengelolaan karbon biru.
"Kami percaya ini adalah langkah terbaik untuk kelestarian dan restorasi ekosistem karbon biru," pungkasnya.