Waisai (ANTARA) - Potensi sumber daya alam Kabupaten Raja Ampat begitu luar biasa. Fauna dan Flora International Indonesia Programme (FFI-IP) mencatat terdapat 186 jenis burung, 40 jenis amfibi, 13 jenis reptil, 32 jenis mamalia, 350 jenis pohon kayu dan palem, 57 jenis anggrek, dan 5 jenis kantong semar di hutan Kabupaten Raja Ampat.
Livelihood Officer Fauna dan Flora International Indonesia Programme, Wolter Gaman di Waisai, Jumat, mengatakan, potensi keanekaragaman hayati Raja Ampat tersebut ternyata memiliki ancaman kelestarian.
Menurut dia, penebangan liar dan perburuan satwa guna dijual dan konsumsi rumah tangga masih kerap ditemukan di berbagai wilayah Kabupaten Raja Ampat. Satwa yang sering diburu yaitu burung kakatua koki atau Cacatua galerita, kasturi kepala hitam atau Lorius lory, dan nuri bayan atau Eclectus roratus.
Selain itu, penyu juga terancam karena telur dan daging sebagai bahan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat bahkan dijual untuk umum.
Karena itu, kata Wolter salah satu cara mengurangi ancaman-ancaman tersebut adalah melalui pendekatan kepada masyarakat. Pendekatan masyarakat tersebut telah di lakukan oleh FFI bagi masyarakat Raja Ampat terlebih khusus di Teluk Mayalibit.
“Pada awal 2014 kami melakukan pendekatan dengan masyarakat Mayalibit untuk meningkatkan mata pencaharian pedesaan melalui pembangunan berkelanjutan yang terkait dengan pengelolaan hutan dan adaptasi perubahan iklim. Kegiatan ini antara lain mengembangkan jalur wisata di Warimak dan pembuatan dokumen Rencana Pembangunan Desa di Warimak dan Kalitoko. Hingga kini sudah ada enam desa yang kami dampingi,” ujarnya.
Ia menyampaikan, kegiatan pendekatan kepada masyarakat juga bekerjasama dengan BBKSDA Papua Barat, Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat, dan Yayasan Nazaret Papua (YNP). Kegiatan yang sudah berjalan selama empat tahun fokus pada pengembangan kualitas masyarakat dalam memanfaatkan jasa lingkungan yang telah disediakan alam tanpa merusak.
Kegiatan yang telah berjalan yaitu pelatihan pemandu wisata, membuat jalur pengamatan burung cenderawasih, sosialisasi ke Kampung Wawiyai guna mempersiapkan kegiatan Kampung Ramah Burung, pendidikan konservasi Sahabat Kakatua Bersama YNP, pembangunan saluran air bersih di Kampung Wawiyai, kerja sama dengan memfasilitasi Homestay Basic Building dan Management Training pembuatan sumur produksi minyak Virgin Coconut Oil (VCO) di Kampung Kalitoko, hingga pendampingan kerajinan tangan di Teluk Mayalibit.
Dijelaskan, guna mengelola sumber daya alam yang arif dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat dan alam sekitarnya, maka pada 2017 FFI mendorong Deklarasi Tata Ruang Kelola Konservasi Tradisional (TRKKT). Deklarasi ini ditujukan untuk kampung sekitar Teluk Mayalibit yaitu Kampung Waifoi, Kalitoko, Warimak, Lopintol, Warsambin dan dusun Waegelas.
"Dalam penyusunan tata ruang kelola konservasi tradisional, masyarakat diajak untuk melakukan pemetaan zonasi batas administrasi dan penetapan batas wilayah adat yang kemudian disepakati bersama," ungkapnya.
Ketua Adat Suku Maya Kristian Thebu yang memberikan keterangan terpisah, mengungkapkan deklarasi ini bertujuan agar masyarakat kampung secara aktif melidungi wilayah konservasi tradisional dan mendorong tata kelola ruang sumber alam wilayah konservasi tradisional yang menjadi arahan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang lestari dan berkelanjutan.
“Pembentukan deklarasi ini meneguhkan keterlibatan penuh masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang lestari di wilayahnya. Deklarasi yang telah dibentuk dipastikan tidak bertentangan dengan perundangan pemerintah yang berlaku.
"Diharapkan deklarasi ini lebih menguatkan partisipasi dan peran masyarakat Teluk Mayalibit dalam perlindungan dan pengelolaan SDA di wilayah konservasi tradisional secara arif dan berkelanjutan," tambah dia.(*)