Manokwari (ANTARA) - Menumbuhkan kesadaran anak muda dalam menyampaikan pendapat di muka umum tanpa aksi pemalangan fasilitas publik menjadi ikhtiar serius Pemerintah Provinsi Papua Barat dan masyarakat yang peduli terhadap kemajuan daerah ini.
Sejauh ini, pemprov setempat bersama aparat penegak hukum terus berupaya keras membendung berbagai aksi pemalangan dari kelompok warga. Namun, ikhtiar ini belum membuahkan hasil optimal. Penyebabnya, antara lain, karena masih saja ada perbedaan di antara keduanya, yakni harapan sekelompok warga tidak sesuai dengan kenyataan yang diputuskan oleh pihak yang dituju.
Padahal, aksi pemalangan jalan dan fasilitas publik justru merugikan orang lain yang tidak berkaitan dengan tuntutan kelompok tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman bersama sebagai solusi terbaik dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi kelompok tanpa disertai dengan aksi pemalangan.
Menciptakan pemahaman bersama menuju Manokwari tanpa aksi pemalangan juga disampaikan Kapolda Papua Barat Inspektur Jenderal Polisi Daniel TM Silitonga.
Terciptanya pemahaman bersama yang mengakomodasi kepentingan masyarakat luas dapat meminimalisasi dampak hukum dari aksi-aksi pemalangan terhadap fasilitas publik.
Oleh karena itu pihaknya mengajak peran aktif tokoh masyarakat, adat, agama, pemuda, dan kaum perempuan untuk bersama-sama mengedukasi masing-masing kelompoknya agar menghindari aksi pemalangan fasilitas publik yang berpotensi menimbulkan masalah hukum bagi pelakunya.
Penyampaian pendapat di muka umum memang dijamin dalam tatanan negara demokrasi, namun tidak harus diwujudkan harus dalam bentuk aksi fisik yang mengganggu kepentingan bersama, seperti pemalangan maupun aksi bakar ban di jalan.
Lebih elok jika maksud dan tujuan tersebut disampaikan melalui lembaga representasi rakyat di daerah. Jika mau menyampaikan aspirasi langsung, ketertiban umum harus tetap dijaga, antara lain, dengan menghindari pemalangan jalan atau bakar ban di tempat umum.
Fenomena perlawanan
Aksi pemalangan di wilayah Manokwari dan sejumlah daerah di Papua Barat dipandang sebagai realitas sosial yang berkembang dari fenomena perlawanan suku bangsa terhadap sistem yang terbentuk atas kebijakan penguasa.
Adolof Ronsumbre, M.A., dosen Antropologi pada Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua, menyebutkan bahwa periode tahun 2013-2015 terjadi 26 aksi pemalangan terhadap fasilitas pemerintah dan swasta. Sejak itu, aksi pemalangan terus berkembang dan seolah menjadi model protes saat ini.
Pola pemalangan di wilayah Papua Barat jauh sebelumnya hanya dilakukan oleh suku tertentu untuk mempertahankan tanah ulayat mereka jika pihak lain yang menduduki wilayah mereka belum membangun komunikasi secara utuh dengan para pemilik ulayat.
Karena konsep tertinggi di tanah Papua ini adalah “duduk bicara dan sepakat” sebagai resolusi konflik secara tradisional yang masih dianut warga pribumi Papua. Konsep inilah yang kadang dilupakan oleh para pengambil kebijakan sehingga berimplikasi pada sikap perlawanan yang diekspresikan melalui aksi pemalangan.
Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman lebih awal dari setiap pengambil kebijakan sebelum memutuskan pembangunan di satu daerah di Papua Barat karena tanah ulayat atau wilayah merupakan unsur dari suku bangsa yang tidak dapat dipisahkan.
Animo aksi pemalangan yang meningkat di wilayah Manokwari, ditengarai sebagai fenomena kebangkitan adat jika dilihat dari sisi Teori Identitas dalam catatan antropologi. Artinya, bahwa ketika wilayahnya terancam, maka kelompok tersebut akan memilih berkonflik.
Konsep dasar budaya, menurut Adolof Ronsumbre, adalah identitas pembeda karena wilayah lain memiliki resolusi konflik tersendiri ketika wilayahnya diambil. Akan tetapi bagi penduduk pribumi Papua Barat, pilihannya diwujudkan dengan pemalangan.
Langkah bersama
Dari pola pemalangan untuk mempertahankan wilayah adat telah bergeser hingga saat ini menjadi pola pemalangan yang lebih menjurus pada protes penerimaan CPNS hingga perekrutan TNI dan Polri di wilayah Papua Barat.
Dr. Yafet Syufi, Wakil Direktur II Pascasarjana Universitas Papua Manokwari, menilai pergeseran pola pemalangan dari mempertahankan wilayah adat pada pemalangan merupakan akumulasi dari menyusutnya kepercayaan publik terhadap pengambil keputusan dalam konteks afirmasi Otonomi Khusus (Otsus).
Oleh karena itu, lembaga Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) dan Fraksi Otsus DPR Provinsi Papua Barat sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat Papua perlu segera mengambil langkah bersama untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan bersama di kemudian hari.
Sinergi pemerintah melalui Badan Kesbangpol dan pemangku terkait diperlukan, antara lain, dengan melakukan sosialisasi dan penyadaran hukum kepada masyarakat sehingga aksi pemalangan tidak menjadi budaya bagi generasi berikut di Manokwari.
Pemalangan adalah suatu aksi sekelompok orang yang dilakukan dalam bentuk tindakan untuk menuangkan segala aspirasi atau pendapat serta permintaan mereka yang belum mendapat dukungan atau apresiasi dari pihak-pihak terkait.
Pemalangan biasa dilakukan di Manokwari, misalnya, dengan memblokir jalan, bakar ban, meletakkan kayu, serta menuliskan kata-kata dalam slogan.
Dampak dari aksi pemalangan menimbulkan kerugian cukup besar karena mobilitas masyarakat menjadi terganggu, tidak tenang, tak nyaman, dan meresahkan ketika mereka melintas di lokasi aksi tersebut.
Oleh karena itu, kebiasaan melakukan aksi pemalangan ketika menolak kebijakan tertentu sudah saatnya diakhiri demi kemaslahatan bersama.
Negara tetap memberi ruang lebar bagi warga untuk menyampaikan aspirasinya, namun dengan cara-cara elegan dan tidak merugikan kepentingan umum.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menghentikan aksi pemalangan ketika menyampaikan aspirasi