Manokwari (ANTARA) - Lima orang pelajar SMA asal Kabupaten Manokwari, Papua Barat baru-baru ini berhasil mencetak prestasi fenomenal dengan menggondol satu medali emas perlombaan World Science Environment and Engineering Competition (WSEEC) untuk kategori life science sekaligus merengkuh Macedonia Special Award yang berlangsung di kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta.
Tim Papua Barat dalam kompetisi itu diwakili oleh dua siswa SMA Negeri 1 Manokwari yakni Sarah Glory Athalya Simanjuntak dan Kezia Busthan, dua siswa SMAS Katolik Villanova Manokwari yaitu Goura Victoria Pattiselano dan Justinus Marcos Serang serta satu siswa SMA Negeri 2 Manokwari yakni Petrus Gyantfranco Christian Saiba.
Prestasi yang direngkuh lima pelajar Papua Barat tersebut ibarat sebuah oase di padang gurun. Bagaimana tidak, Papua sudah sangat lama belum mencetak prestasi menonjol di bidang pendidikan. Belum lagi situasi Papua yang hingga kini belum benar-benar kondusif karena hampir setiap saat selalu disuguhi dengan berbagai adegan kekerasan yang tiada henti, menambah panjang cerita miris soal Papua.
Bagi Goura dan Justinus, prestasi yang mereka torehkan itu sebagai ajang pembuktian kepada dunia luar bahwa anak-anak Papua juga bisa.
"Tong harus tunjukan bahwa Papua pasti bisa. Ayo anak-anak Papua, kita harus rajin-rajin belajar, jangan malas," ajak Goura, remaja putri berusia 16 tahun yang kini duduk di kelas XII jurusan IPA SMA Katolik Villanova, Manokwari.
Justinus yang juga duduk di kelas XII jurusan IPA SMA Katolik Villanova, Manokwari juga mengajak anak-anak Papua untuk bertekun dalam belajar karena melalui bangku pendidikanlah seseorang bisa 'melihat dunia'.
"Belajar atur waktu lebih baik lagi. Bedakan mana waktu main, mana waktu belajar, itu penting sekali," kata pemuda berusia 17 tahun yang bercita-cita ingin menjadi penerbang pesawat tempur TNI AU itu.
Keluarga terpelajar
Keberhasilan Goura dan Justinus bersama rekan-rekannya mencetak prestasi gemilang, tidak dapat dipungkiri merupakan hasil tempaan keras dari para guru di sekolah dan pembimbing yang mendampingi mereka dari Yayasan Terang Papua.
Belum lagi kalau melihat latar belakang keluarga mereka yang merupakan keluarga terpelajar.
Ayah dan ibu Goura yakni pasangan Dr Fredy Pattiselano-Dr Agustina Rubaya merupakan staf pengajar (dosen) Fakultas Peternakan di Universitas Papua (Unipa) Manokwari.
Demikian halnya dengan Justinus. Ayahnya, Aloysius Serang merupakan staf perusahaan British Proteleum yang mengelola proyek LNG Tangguh di Bintuni, Papua Barat. Sementara ibunya yakni Dr Els Rieke Tieneke Katmo merupakan staf pengajar Fakultas Pertanian Unipa Manokwari.
Bahkan kedua pelajar itu juga pernah mengenyam pendidikan di luar negeri saat masih duduk di bangku sekolah dasar.
Goura pernah bersekolah di Australia saat ayahnya mengikuti studi program magister di James Cook University, Queensland.
Sementara Justinus yang lahir di Jakarta pada 10 November 2004 juga pernah bersekolah di Australia saat ibunya mengikuti program studi doktoral di Kota Adelaide.
Tidak heran, kemampuan berbahasa Inggris kedua siswa itu cukup mahir, bahkan mengundang decak kagum para juri, guru maupun peserta lain saat kompetisi WSEEC di kampus UI yang diikuti 300-an peserta dari 23 negara baik yang hadir secara langsung (luring) maupun secara daring.
"Di rumah kami didorong selalu menggunakan bahasa Inggris setiap hari agar kemampuan berbahasa Inggris tidak hilang," tutur Goura, anak kedua dari tiga bersaudara itu.
"Mungkin salah satu kelebihan kami saat lomba yaitu karena pengucapan bahasa Inggris yang bagus. Beberapa kali juri dan pembimbing sempat memberi komentar, juga dari guru SMA Negeri 21 Surabaya dan peserta lain yang datang ke ruangan kami, mereka katakan wah bahasa Inggris kalian bagus sekali," tambah Goura yang bercita-cita ingin menjadi seorang diplomat sehingga berencana mengambil jurusan hubungan internasional saat kuliah nanti.
Goura dan Justinus mengajak rekan-rekannya sesama pelajar di Papua untuk terus mengasah kemampuan berbahasa Inggris sebagai sebuah kemampuan utama bagi siapapun di era sekarang ini.
"Bahasa Inggris sekarang bukan lagi menjadi skil sampingan, tapi sudah menjadi salah satu skil utama kalau ko mau berhasil di luar sana," kata Justinus.
Tradisi barapen
Saat mengikuti kompetisi WSEEC di Jakarta, tim Papua Barat mempresentasikan karya ilmiah seputar tradisi memasak makanan khas Suku Dani di wilayah Kabupaten Jayawijaya, Papua yang dikenal dengan sebutan 'barapen' atau yang populer dikenal dengan istilah 'bakar batu'.
Melalui penelitian dan presentasi yang dilakukan oleh tim Papua Barat, metode memasak secara tradisional warga Papua itu bisa lebih efektif dan efisien, tidak harus menghabiskan waktu berjam-jam.
"Biasanya orang bakar batu itu sampai berjam-jam mulai dari memanaskan batu, memasukkan daging dan sayur-sayuran ke dalam lobang untuk kemudian makanan bisa masak dan dikonsumsi. Dari presentasi yang kami lakukan, hanya dibutuhkan waktu 20 menit untuk memasak daging dan sayur, serta 30 menit untuk memanaskan batu. Jadi, totalnya hanya butuh waktu 50 menit," jelas Justinus.
Tim Papua Barat juga meneliti terjadinya proses kimia yang terjadi di balik barapen seperti perpindahan panas dari batu ke daging untuk memasak daging. Kemudian perpindahan enzim dari daun ke daging untuk melembutkan daging.
Dengan metoda tradisional, daun yang digunakan untuk melembutkan daging menggunakan daun pepaya. Sementara dalam penelitian yang dilakukan oleh para pelajar Papua Barat daun pepaya disubstitusi dengan destilasi untuk melembutkan daging.
Goura dan Justinus mengaku baru pertama kali ikut serta kompetisi tingkat nasional maupun internasional.
Awalnya, Yayasan Terang Papua menggelar audisi calon peserta yang akan dipilih mewakili Papua Barat mengikuti ajang WSEEC. Proses audisi berlangsung di SMA Negeri 1 Manokwari mulai 3 hingga 4 Mei 2022. Dari proses audisi itulah, terbentuk satu tim terdiri atas lima orang untuk mewakili Papua Barat yaitu Goura dan Justinus, serta Sarah, Kezia, dan Petrus.
Sejak 4 Mei itu, Goura dan kawan-kawannya mendapat gemblengan oleh pembimbing dari Yayasan Terang Papua hingga 24 Juni.
"Kurang lebih sekitar tiga bulan kami lalui masa persiapan. Selama tahap persiapan kami melaksanakan penelitian, percobaan, ada ujian labtik terutama terkait dengan topik yang kami bahas yaitu barapen," jelas Goura.
Setiap hari lima pelajar ini selalu berkumpul di Kantor Yayasan Terang Papua di kawasan Jalan Merdeka, Kelurahan Manokwari Barat untuk persiapan mengikuti kompetisi.
Sebelum mengikuti kompetisi di kampus UI di Salemba, lima pelajar Papua Barat itu sempat mendapatkan bimbingan lanjutan di Surabaya dengan pembimbing yaitu Budi Santoso, guru SMA Negeri 21 Surabaya.
Adapun kompetisi WSEEC sendiri berlangsung pada 18 Juli. Setiap peserta mendapat waktu selama tiga jam dari tim juri untuk mempresentasikan hasil penelitian dan karya ilmiah mereka.
"Hari penilaian itu disebut booth. Penilaian dimulai jam 10 pagi sampai jam 1 siang untuk peserta yang offline. Juri-juri mulai keliling untuk menilai hasil karya semua peserta," ujar Justinus.
Setiap peserta juga masing-masing diberikan ruangan khusus dan didekorasi sesuai karya ilmiah yang akan dipresentasikan. Selain disediakan poster-poster, juga ada buku catatan selama mengikuti lomba, data-data yang diperoleh dari hasil percobaan, juga bahan-bahan pendukung untuk kepentingan presentasi.
Tidak menyangka
Goura dan Justinus mengaku tidak menyangka bahwa karya ilmiah yang mereka presentasikan dalam lomba WSEEC di Jakarta, rupanya mendapat penilaian bagus dari tim juri sehingga mendapatkan penghargaan medali emas.
Prestasi membanggakan itu dinilai sebagai cambuk untuk terus memacu mereka lebih tekun belajar.
"Ini pertama kali saya ikut lomba tingkat internasional. Dari pengalaman ini saya belajar untuk mengatur waktu lebih baik, harus lebih disiplin, harus lebih banyak sabar karena saat lomba kemarin kami melalui percobaan dan mendapatkan banyak tantangan, Puji Tuhan pada akhirnya berhasil meraih medali emas, meskipun sulit tapi kalau kita bertekun maka pasti berhasil," tutur Goura yang merupakan blasteran Ambon-Serui Papua itu.
Sebagaimana Goura, Justinus juga mengaku baru pertama mengikuti ajang perlombaan skala nasional maupun internasional.
Ada banyak peluang dan kesempatan bagi anak-anak Papua untuk berkembang, bisa melalui cabang olahraga, bisa juga melalui dunia pendidikan.
Hanya saja mereka perlu didukung dengan fasilitas yang lebih memadai, agar mutu pendidikan di Tanah Papua khususnya Papua Barat bisa merangkak naik bahkan sama dan sejajar dengan daerah lain, terutama di Pulau Jawa.
"Kami berharap fasilitas yang ada perlu ditambah, butuh perhatian serius dari pemerintah daerah. Anak Papua punya potensi, cuma kurang diasah, perlu lebih banyak dorongan agar mereka punya ambisi untuk meraih prestasi di berbagai bidang selain olahraga, terutama di bidang pendidikan, apalagi IPA masih sangat kurang," tutur Justinus.