Pemerintah Provinsi Papua Barat melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (D3PA) terus melakukan penguatan serta pengembangan kapasitas lembaga penyedia layanan perlindungan bagi perempuan.
Asisten II Sekretariat Daerah (Setda) Papua Barat Melkias Werinussa di Manokwari, Jumat, mengatakan pelibatan lembaga penyedia layanan bermaksud untuk menekan kasus kekerasan yang kerap menimpa kaum perempuan dan anak-anak.
Kasus kekerasan perempuan dan anak telah menjadi perhatian global, sehingga pemerintah memerlukan dukungan dari seluruh komponen agar upaya memberikan perlindungan bagi kaum perempuan dan anak berjalan maksimal.
"Tindak pidana kekerasan perempuan dan anak termasuk TPPO (tindak pidana perdagangan orang) sarat dengan permasalahan gender," kata Melkias.
Pemerintah provinsi, kata dia, berkomitmen memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan melalui berbagai kebijakan seperti Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 11 Tahun 2013.
Selain itu, pemerintah provinsi telah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai upaya mengoptimalkan pelayanan bagi korban kekerasan.
"Pemerintah daerah juga sudah melakukan kerja sama dengan Polda Papua Barat dan tenaga ahli psikologi, meski demikian dukungan dari lembaga penyedia layanan juga sangat diperlukan," tutur Melkias.
Menurut dia kekerasan terhadap perempuan dipengaruhi adanya ketimpangan gender dan budaya patriarki yang memposisikan kaum pria sangat mendominasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi sosial tersebut menjadi faktor utama penghambat eksistensi perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, dan kerap menimbulkan diskriminasi berujung tindak pidana kekerasan.
"Relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan terjadi di lingkungan rumah tangga, lingkungan masyarakat, maupun lingkungan kerja," jelas Melkias.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), kata dia, kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua Barat sejak Januari hingga 7 Desember 2023 tercatat ada 46 kasus.
Kemudian, kekerasan terhadap anak perempuan 43 kasus, kekerasan terhadap anak laki-laki 15 kasus, kekerasan seksual terhadap perempuan sembilan kasus, kekerasan seksual anak 31 kasus, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 25 kasus.
"Dari data SIMFONI PPA, kekerasan seksual dan KDRT yang terjadi di wilayah Papua Barat sangat dominan," ujar Melkias.
Ia menilai tren peningkatan pelaporan kasus kekerasan perempuan maupun anak menggambarkan bahwa masyarakat Papua Barat mulai berani memberikan laporan yang dialami, dilihat, didengar atau diketahui melalui layanan pengaduan.
Setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan yang tercantum dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Penggunaan media sosial yang masif juga turut andil membuka berbagai kasus kekerasan yang terjadi," ucap Melkias.
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2023
Asisten II Sekretariat Daerah (Setda) Papua Barat Melkias Werinussa di Manokwari, Jumat, mengatakan pelibatan lembaga penyedia layanan bermaksud untuk menekan kasus kekerasan yang kerap menimpa kaum perempuan dan anak-anak.
Kasus kekerasan perempuan dan anak telah menjadi perhatian global, sehingga pemerintah memerlukan dukungan dari seluruh komponen agar upaya memberikan perlindungan bagi kaum perempuan dan anak berjalan maksimal.
"Tindak pidana kekerasan perempuan dan anak termasuk TPPO (tindak pidana perdagangan orang) sarat dengan permasalahan gender," kata Melkias.
Pemerintah provinsi, kata dia, berkomitmen memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan melalui berbagai kebijakan seperti Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 11 Tahun 2013.
Selain itu, pemerintah provinsi telah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai upaya mengoptimalkan pelayanan bagi korban kekerasan.
"Pemerintah daerah juga sudah melakukan kerja sama dengan Polda Papua Barat dan tenaga ahli psikologi, meski demikian dukungan dari lembaga penyedia layanan juga sangat diperlukan," tutur Melkias.
Menurut dia kekerasan terhadap perempuan dipengaruhi adanya ketimpangan gender dan budaya patriarki yang memposisikan kaum pria sangat mendominasi dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi sosial tersebut menjadi faktor utama penghambat eksistensi perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, dan kerap menimbulkan diskriminasi berujung tindak pidana kekerasan.
"Relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan terjadi di lingkungan rumah tangga, lingkungan masyarakat, maupun lingkungan kerja," jelas Melkias.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), kata dia, kasus kekerasan terhadap perempuan di Papua Barat sejak Januari hingga 7 Desember 2023 tercatat ada 46 kasus.
Kemudian, kekerasan terhadap anak perempuan 43 kasus, kekerasan terhadap anak laki-laki 15 kasus, kekerasan seksual terhadap perempuan sembilan kasus, kekerasan seksual anak 31 kasus, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 25 kasus.
"Dari data SIMFONI PPA, kekerasan seksual dan KDRT yang terjadi di wilayah Papua Barat sangat dominan," ujar Melkias.
Ia menilai tren peningkatan pelaporan kasus kekerasan perempuan maupun anak menggambarkan bahwa masyarakat Papua Barat mulai berani memberikan laporan yang dialami, dilihat, didengar atau diketahui melalui layanan pengaduan.
Setiap warga negara mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan dari kekerasan yang tercantum dalam Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Penggunaan media sosial yang masif juga turut andil membuka berbagai kasus kekerasan yang terjadi," ucap Melkias.
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Barat 2023